PENDAHULUAN
Pemberian obat peroral
merupakan cara pemberian yang paling alamiah untuk semua bahan yang akan
diserap oleh organ tubuh. Fungsi alat cerna adalah menyerap sebagian besar
bahan-bahan yang diperlukan untuk hidup. Cara pemberian obat per oral paling
banyak dipakai di luar lingkungan rumah sakit terutama untuk pengobatan
sendiri.
Pada pemberian obat per
oral harus dipertimbangkan hal-hal yang merupakan kontra indikasi, yaitu :
1.
Keadaan patofisiologik penderita : suatu
sediiaan antirematik tidak dapat diberikan per oral tanpa resiko dimuntahkan
sebelum obat bereaksi.
2.
Pada cairan lambung yang asam, zat aktif
tertentu dapat dirusak oleh enzim pencernaan seperti lipase, penisilinase
tertentu atau terjadinya pengikisan mukosa (natrium salisilat berubah menjadi
asam salisilat).
3.
Enzim proteolitik dalam saluran cerna
dapat merusak zat aktif polipeptida protein (insulin. Hormone, polipeptida,
serum).
4.
Enzim flora usus dapat pula berpengaruh
pada selulase dan selulosa, penisilinase dan penisilina.
5.
Kadang-kadang terjadi interaksi antara
zat aktif dan bahan cairan lambung dan selanjutnya membentuk senyawa kompleks
yang sukar diserap, misalnya musin dan streptomisina, garam empedu dan ammonium
kuartener.
6.
Tujuan farmakokinetik tidak selalu dapat
dicapai dengan pemakaian sediaan oral.
7.
Beberapa zat aktif di metabolism pada
membrane usus dan dengan demikian sebagian telah rusak saat memasuki aliran
darah.
8.
Harus dipertimbangkan pula kemungkinan
adanya “efek lintasan pertama” (Test pass effect) dan adanya klirens hepatic
yang merupakan proses metabolisme yang mengubah zat aktif menjadi bentuk yang
tidak aktif, sehingga dengan demikian obat tidak dapat diberikan per oral (misalnya lidokaina, progesterone,
testosterone, estradiol dan lain-lain).
A.
ANATOMI
DAN FISIOLOGI
1. Mulut
a.
Anatomi
Mulut
terbuka kearah belakang menuju cavum
pharyngis. Bagian atas dibatasi oleh palatum,
bagian bawah oleh dinding dasar mulut, bagian samping oleh pipi. Dasar mulut
bertumpu pada ligamen otot.
b.
Fisiologi
- Mukosa
Permukaan bagian dalam mulut lebih
sempit, ditutupi oleh lapisan mukosa yang sangat tipis, bening dan agak melekat
: adanya ayaman kapiler “ tight junction” pada mukosa yang tipis tersebut
memudahkan penyerapan. Selanjutnya prinsip ini digunakan untuk pemberian zat
aktif per lingual.
- Pengeluaran air liur (saliva)
Air liur terutama mengandung enzim
ptyalin yang merupakan suatu amylase dengan pH aktivitas optimum 6,7. Proses
hidrolisa ptyalin terhadap amilum akan berlanjut sekitar 30 menit didalam
lambung, walaupun pH-nya menurun karena bercampur dengan cairan lambung.
2. Lambung
a.
Anatomi
Lambung merupakan sebuah kantong
dengan panjang sekitar 25 cm dan 10 cm saat kosong, volume 1 – 1,5 liter pada
dewasa normal.
b.
Fisiologi
Pengeluaran cairan lambung terjadi
karena tiga proses yaitu : proses mekanik (kontak makanan dengan dinding
lambung), proses hormonal (sekresi lambung) dan persarafan.
3. Usus halus
a.
Anatomi
Usus halus merupakan lanjutan
lambung yang terdiri atas 3 bagian yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan
ileum yang bebas bergerak. Diameter usus halus tergantung pada letaknya (2-3
cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9 cm.
b.
Fisiologi
Usus halus terdiri atas 5 lapisan
melingkar, berupa jaringan otot (musculus) dan lapisan lender (mukosa). Lapisan
yang paling dalam (lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat.
4. Usus besar (Kolon)
a.
Anatomi
Ileum dipisahkan
dari usus besar oleh valvula ileocaecal
atau valvula BAUCHI, serabut-serabut
lipatan otot menonjol ke dalam lubang saluran yang berfungsi mencegah aliran
dari usus besar menuju usus halus.
Posisi usus besar seperti kerangka
pigura. Berukuran panjang 1,4-1,8 meter dan diameternya kea rah distal semakin
membesar. Usus besar dibedakan atas :
- Usus
besar menaik (Colon ascendens)
dimulai dari caecum, segmen yang membesar dengan bentukan vertikel berupa
appendix/ usus buntu. Colon ascendens ini pendek berukuran sekitar 15 cm dan
berdiameter cukup besar (6 cm) dan terfiksasi.
- Usus
besar melintang (Colon transfersum),
mengambang dan berukuran panjang sekitar 50 cm
dan berdiameter 4-5 cm. muncul dari sudut hepatic (flexura hepatica)
menuju sudut limpa (lien) dan sebagian besar menempel pada lengkungan lambung
- Usus
besar menurun (Colon descendens), melekat dan relatifpendek (12 cm),
berdiameter kecil (3 cm)
- Colon
ileocaecal, dilanjutkan dengan Colon pelvinal atau signoida yang muaranya lebih
lebar.
b.
Fisiologi
Bila usus halus merupakan organ
penyerapan maka usus besar merupakan agen penyerapan air, penampungan dan
pengeluaran bahan-bahan feces.
B. VASKULARISASI LINTASAN PENYERAPAN
1.
Mulut
a. Vaskularisasi
darah
Vaskularisasi
daerah lidah terutama dilakukan oleh arteria
lingualis dan arteria facialis yang
merupakan cabang arteria carotis.
Pembuluh nadi balik terdiri atas :
- Vena facialis
dan kolateralnya
- Vena lingualis,
terutama vena raninus
Vena-vena
tersebut bergabung membentuk vena besar dan masuk ke vena jugularis interna. Lengkungan palatum mendapat darah dari
arteri maxilaris interna. Sedangkan vena maxilaris bertanggung jawab terhadap
pembuluh darah balik yang bermuara di vena jugularis
interna.
Darah
vena dari daerah mulut mengalir ke jantung dan selanjutnya mengalir ke
organ-organ tubuh lainnya dan kemudian memasuki hati. Jadi semua zat aktif yang
diserap pada jalur ini tidak segera mengalami metabolism hepatic yang dapat
berakibat inaktivasi sebelum diedarkan ke seluruh tubuh atau yang kita kenal
sebagai “efek lintasan pertama hepatik”.
b.
Vaskularisasi getah bening
Pembuluh getah
bening berasal dari semua bagian mulut. Pembuluh ini dapat mencapai limfonoduli
yang sangat tersebar dan dengan demikian membantu penyerapan dan pembagian zat
aktif tertentu.
2.
Lambung
a. Vaskularisasi
darah
Debit darah pada
lambung adalah 250 ml/menit. Pembuluh darah arteri yang mengalir ke lambung
berasal dari arteria coeliaca yang mengikuti dua lekukan lambung. Sejalan
dengan vena,darah arteri tersebut menuju hati dengan perantaraan vena porta,
sehingga dengan demikian darah akan mengaliri lambung. Jadi zat aktif yang
diserap di lambung akan melewati hati lalu di metabolism dan hal ini sering
menyebabkan ketidakaktifan obat (efek lintasan hepar pertama).
b. Vaskularisasi
getah bening (limfe)
Pembuluh getah
bening pada saluran cerna berasal dari jaringan sub mukosa dan sub serosa.
Pembuluh tersebut berkumpul lagi dalam limfonoduli di sekitar pembuluh arteri
besar dan dalam simpul yang lebih kecil di dekat collateral.
3.
Usus halus
a.
Vaskularisasi darah
Usus
halus mendapatkan aliran darah dari pembuluh nadi (arteri) yang berasal dari
ketiga cabang aorta abdominal dan kolateralnya. Pembuluh nadi balik (vena)
berada pada batasan yang kurang lebih sama dengan pembuluh nadi.
Jadi semua darah vena yang mengalir dari
usus mengumpul pada vena aorta seperti saat mengalir dari lambung. Jadi zat
aktif yang diberikan melalui mulut, penyerapannya pasti akan melewati hati
(lintasan pertama hepatik) dan mengalami perubahan.
b.
Vaskularisasi getah bening
Usus halus mempunyai struktur
anatomi yang menunjang fungsi penyerapan tersebut.
4.
Usus Besar (Kolon)
a.
Vaskularisasi darah
Usus besar mendapatkan aliran darah
dari arteria mesentericum superior dan inferior.
Pembuluh
darah balik pada usus besar adalah :
- Vena mesentericum superior
yang mengalirkan darah dari caecum
dan usus besar sebelah kanan.
- Vena mesentericum inferior yang
mengalirkan darah dari sigmoid atau signoida.
Bila akan dirancang suatu obat per oral dengan
penyerapan efektif pada saluran cerna, maka harus dipertimbangkan kemungkinan
lewatnya obat melalui hati dan akibat-akibat yang ditimbulkan.
b. Vaskularisasi
getah bening (limfe)
Seperti pada semua saluran cerna ,
terdapat dua rangkaian pembuluh getah bening yaitu yang sub mukosa dan sub serosa. Jaringan ini dikeluarkan oleh
limfonoduli coeliaca sub mukosa. Disamping kanan terdapat ileocoeliaca yang sangat penting.
C. PERSARAFAN
Pengeluaran empedu akan dirangsang oleh system saraf
otonom, sehingga semua gangguan terhadap saraf dapat berpengaruh pada
pengeluaran empedu. Jadi transit usus yang sangat cepat akan mengacau
kesempunaan penyerapan zat aktif tertentu yang terionkan atau yang
penyerapannya terjadi dengan cara aktif.
D.
FAKTOR PATO-FISIOLOGI YANG BERPERAN PADA
PENYERAPAN OBAT PER ORAL
v FAKTOR FISIOLOGIK
1.
Permukaan
Penyerap
Lambung
tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti dibandingkan dengan usus halus.
Lambung lebih merupakan organ penggetahan dibandingkan dengan organ penyerap.
Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang diberikan peroral, dan tergantung
pada keadaan, lama kontak menentukan terjadinya
penyerapan pasif dan zat aktif lipofil dan bentuk tak terionkan pada pH
lambung yg asam (asam lemah seperti asam salisilat, barbiturat).
Usus
halus mempunyai luas permukaan penyerap 40-50 m2. Penyerapan ini dapat terjadi
secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan keasaman pH yang akan
mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga penyerapan hanya
terjadi pada daerah tertentu. Suatu alkaloida yang kuat dan terionkan dalam
cairan lambung, secara teori kurang sediserap. Bila pH menjadi netral atau
alkali, bentuk basanya akan mengendap pada pH. Bentuk basa tersebut
kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam jumlah yang cukup.
Leh sebab itu harus dirancang suatu bentuk sediaan dengan perlepasan dan
pelarutan zat aktif yang cepat.
2.
Umur
Terjadinya
keadaan dosis-lebih disebabkan oleh adanya penyerapan tak terkontrol.
Pada
bayi dan anak-anak, sebagian seistem enzimnya belum berfungsi sempurna sehingga
dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu yang disebabkan tidak
sempurnanya proses detoksifikasi metabolik, atau karena penyerapan yang tidak
sempurna dan karena gangguan saluran cerna sebagai akibat adanya bahan tambahan
tertentu yang tidak dapat diterima.
Oleh
sebab itu pengaturan dosis obat pada bayi tidak dapat dihitung dengan rumus
yang sederhana seperti pada orang dewasa, tetapi harus menggunakan fungsi berat
badan.
Pada
penderita tua, terlihat fenomena penurunan penyerapan dan kecendurungan
menurunnya HCl lambung sehingga mengurangi penyerapan asam lemah.
Posologi
pada penderita tua tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor individu. Secara
sederhana pemberian obat pada keadaan tersebut harus dilaksanakan dengan sangat
hati-hati.
3.
Sifat
Membran Biologik
Sifat membran biologik sel-sel penyerap
pada mukosa pencernaan akan mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida
memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu
dari bentuk yang tak terionkan dilambung dan terutama diusus besar. Semua jenis
transpor zat aktif diusus halus yang meliputi:
Ø Transpor
dengan pembentukan pasangan ion
Ø Transpor
sederhana
Ø Transpor
aktif
Ø Pinositosis
Adanya berbagai mekanisme tersebut
menyebabkan pelipat ganda kemampuan penyerapan usus halus dibandingkan dengan
kemampuan usus besar.
4.
Laju
Perlewatan
Laju transit dan waktu tinggal dilambung
merupakan salah satu faktor yang sangat penting, yang mempengaruhi intensitas
penyerapan. Suatu zat aktif yang sukar diserap lambung seharusnya tidak tinggal
lama dilambung. Oleh sebab itulah waktu pengosongan lambung sebaiknya
diusahakan terjadi lebih cepat. Sebaliknya bila transit diusus berjalan lambat,
hal tersebut menguntungkan bagi zat aktif yang hanya diserap pada bagian
tertentu saluran cerna, terutama dalam hal transpor aktif. Contoh yang klasik
adalah riboflavin yang diserap pada bagian atas usus halus. Bila obat dalam
keadaan terlarut melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya
menjadi sangat sedikit. Fenomena yang sama juga terjadi pada tetrasiklina,
fenisilina, seofulvin dan garam-garam besi (fe).
Kecepatan transit dilambung tak dapat
dikontrol selama waktu makan dan gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap
dalam waktu yang lama ataupun singkat.
Faktor
yang meningkatkan waktu pengosongan lambung
Faktor yang dapat meningkatkan waktu
pengosongan lambung, daiantaranya adalah:
Volume
Menurut beberapa peneliti, selama puasa
lambung dapat menghasilkan beberapa ml/jam cairan asam bila dilakukan
pemasangan pipa. Pada saat puasa di luar waktu makan dapat terjadi pengeluaran
karena rangsangan. Psikis dan pada keadaan ini tampaknya lambung hanya
mengandung cairan yang bersifat asam lemah. Pemberian sediaan padat per oral
saat puasa sebaiknya disertai segelas air, agar mempercepat terjadinya
peluruhan, pelarutan dan transit.
Sekresi lambung dapat terjadi akibat
timbulnya suatu rangsangan subyektif, misalnya bau yang tidak enak dan aspek
yang menarik. Dengan demikian psikisme individu sangat berperan. Pada seseorang
depresif, sekresi lambung akan meningkat mulai dari awal hingga akhir makan dan
peningkatan ini sangat tergantung pada individu.
Dengan demikian nyatahlah bahwa sediaan
yang diberikan peroral dapat mempunyai ketersediaanhayati yang berbeda-beda
tergantung pada cara penelanan:
Ø Dengan
atau tanpa air (peningkatan laju pelarutan, penurunan derajat keasaman karena
pengenceran, proses transit dipercepat bila subyek berpuasa)
Ø Sebelum
atau selama makan, awal akhir makan : keasaman dan sekresi proteolitik akan meningkat
pada akhir makan.
Karena pelarutan dilambung selama
waktu makan sulit dikendalikan dan adanya resiko peresapan zat aktif oleh
makanan maka lebih disukai pemberian obat diantara waktu makan atau sebelumnya.
Namun bila diinginkan pengurangan efek iritasi yang mungkin terjadi pada mukosa
lambung maka pemberian obat dapat diberikan saat makan.
Sangat mudah dilihat bagaimana volume
makanan dalam lambung yang bertambah dapat meningkatkan pengosongan dari
lambung. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi karena alasan yang diharapkan.
Tekanan yang meningkat dalam lambung bukan penyebab peningkatan pengosongan
karena pada batas-batas volume normal, peningkatan volume tidak menambah
peningkatan tekanan dengan bermakna,. Sebagai gantinya, peregangan dinding
lambung menimbulkan refleks mienterik lokal dan refleks vagus pada dinding
lambung yang meningkatkan aktivitas pompa pilorus. Pada umumnya, kecepatan
pengosongan makanan dari lambung kira-kira sebanding dengan akar kuadrat volume
makanan yang tertinggal dalam lambung pada waktu tertentu.
Ø Konsistensi
isi lambung
Kekentalan cairan
lambung sangat berperan dan pemberian obat saat puasa bersamaan dengan segelas
airakan menngkatkan secara nyata laju pelarutan tersebut lebih encer dari “sop
encer”.
Ø Keasaman
Keasaman
(pH) cairan lambung selama mendekati satu, tetapi karena adanya pengenceran biasanya pH dapat berada antara 1
dan 3.
Pengukuran
pH sekresi lambung pada umumnya dilakukan dengan pengambilan melalui pipa,
sedangkan pengukuran pH pada binatang dilakukan dengan menusukan fistula ke
lambung melalui kulit. Tehnik yang pertama dapat menimbulkan trauma dan
komposisi cairan lambung setelah eksitasi mekanik mungkin berada dengan
komposisi yang dihasilkan pada keadaan fisiologi. Hal yang sama terjadi bila
lambung dirangsang oleh bahan-bahan tertentu seperti histamin. Bila penggunaan
fistula pada hewan mempunyai masalah ekstrapolasi klasik, maka hal yang sama
berlaku pula pada manusia.
Pengukuran
pH cairan lambung dengan elektroda gelas yang dimasukan kedalam lambung memberikan
hasil yang baik.
Ø Kandungan
bahan-bahan tertentu yang berada disaluran cerna.
Kandungan bahan
berlemak, asam lemah, bahan pencerna daging, gula. (bahan-bahan tersebut
terinduksi oleh kontak dengan mukosa duedenum, sekresi hormon, esterogastron,
dan akan menhambat pengosongan lambung).
Ø Keadaan
emosi
kegembiraan dapat mempercepat
pengosongan lambung dan sebaliknya ketakutan dapat memperlambat pengosongan
lambung.dan dapat menyebabkan penutupan pylorus.
Para peneliti menyimpulkan bahwa gerakan
lambung tidak sangat kuat dan terjadi secara peristaltik. Gerakan tersebut
merupakan gelombang kontraksi yang dimulai dari daerah fundus bagian tengah dan
berpindah menuju pylorus. Gerakan dimulai 5-10 menit sesudah makanan masuk
kedalam lambung dan terjadi selama 4-6 gerakan setiap menit dan selanjutnya
mencapai pylorus dalam waktu 20 detik. Dengan demikian makanan tertimbun pada
lapisan berikutnya tanpa energi pengadukan. Adanya pengadukan di permukaan
menjamin pencampuran yang lebih baik antara cairan lambung dan bahan yang akan
diserap kecuali pada daerah pylorus yang
gelombang geraknya lebh kuat. Hanya campuran isi lambung yang cukup encer yang
dapat melewati pylorus secara bertahap.
Sediaan obat yang diserap tercampur
dengan masa makanan tanpa benar-benar teraduk bila ia berada dalam daerah
pylorus. Perlepasan, pelarutan dan penyerapan dilambung terjadi dengan hambat
bila obat digunakan bersamaan atau setelah makan. Sebaliknya saat puasa dan
disertai dengan segelas air, ketiga fase tahapan pre-disposisi obat akan
terjadi secara efektif. Tetapi cairan dengan cepat memasuki duedenum, terutama
bila yang ditelan berbentuk cairan dan diminum bersama segelas air. Dengan
demikian saat puasa pylorus akan terbuka atau terbuka sedikit dan pembukaan
lambung pertama menyebabkan obat segera memasuki duedenum dan pylorus segera
menutup kembali.
Mekanisme pembukaan dan penutupan
pylorus sesungguhnya masih kabur. Proses tersebut merupakan fungsi pH cairan
duedenum (pylorus hanya dapat membuka bila pH di ddeudenum
Faktor
yang mempercepat pelewatan dilambung
Semua faktor yang berlawanan dengan yang
telah disebutkan sebelumnya seperti keasaman, pengenceran, posisi berbaring
pada sisi kiri akan mengaktifkan pengosongan lambung.
Bila akan dibuat sediaan obat dengan
waktu tinggal dilambung yang relatif singkat maka harus dicoba menetralkan
keassaman lambung dengan senyawa dapar pada pH yang lebih tinggi.
Pelewatan diusus halus
Adanya makanan mengaktifkan proses
pelewatan diusus halus dan pada pagi hari diwaktu puasa pelewatan tersebut
menjadi lambat. Pengeluaran empedu akan dirangsang oleh sistem saraf otonom,
sehingga semua gangguan terhadap saraf dapat berpengaruh pada pengeluaran
empedu.
5.
pH
dan Perubahan pH karena formulasi
keasaman
(pH) dan laju transit merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses
pelarutan dan penyerapan. Derajat keasaman pH cairan saluran cerna berbatas 1-8
sehingga memungkinkan terjadinya pelarutan sebagian besar zat aktif pada daerah
tertentu disaluran cerna. Jadi pH merupakan faktor yang mempengaruhi seluruh proses
penyerapan.
Perbedaan
pH disepanjang saluran cerna memungkinkan berkembangnya pembuatan sediaan yang
tahan cairan lambung atau sediaan dengan aksi terkendali. Penyalut selulosa
atau amilum asetoftalat mempunyai sifat polielektrolit dan akan melarut sesuai
dengan fungsi pH, misalnya jenis Eudragit.
Perubahan
pH dengan formulasi
Hampir
tidak mungkin membuat formula yang sesuai dengan keseragaman pH seluruh usus,
sebaliknya hal tersebut dapat dilakukan pada cairan lambung dengan tujuan untuk
:
Ø meningkatkan
ketersediaan hayatizat aktif yang tak larut pada pH lambung (asam salisilat
menjadi lebih larut).
Ø Mengurangi
iritasi bentik asam dari zat aktif (salisilat),
Ø Mencegah
peruraian yang disebabkan oleh keasaman cairan lambung.
pH cairan lambung dapat di tingkatkan
dengan pemberian suatu senyawa asam (natrium bikarbonat, kalsium karbonat, dan
lain- lain), tetapi cara lebih klasik adalah dengan mengubah pH daerah difusi
di sekitar partikel oleh dapar yang ada basa atau dengan menggunakan garam yang
larut dari zat aktif asam.
6.
Tegangan
Permukaan
Tegangan
permukaan pada cairan usus menurun karna adanya garam empedu.Hal yang sama
terlihat paada cairan lambung yang mendapatkan masukan garam empedu. Tegangan
permukaan cairan lambung berkisar antara 38-47 /dyne/cm2. Pengurangan tegangan
permukaan akan memudahkan pembasahan dan pelarutan partikel yang semula belum
larut. Senyawa –senyawa “choleretie” merangsang pengeluaran cairan empedu,
sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah pengemulsian dan
penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut lemak.
7.
Kekentalan
Kekentalan juga menghambat proses bahwa
kekentalan menghambat proses penyerapan yaitu dengan menghambat pembasahan
partikel dan menekan laju pelarutan.
Kekentalan
juga menghambat proses difusi molekul zat aktif saat proses pelarutan dimukosa
penyerapan. Malahan dapat dikatakan bahwa kekentalan menghambat proses transit
dan terutama meningkatkan waktu-tinggal dalam lambung. Telah kita ketahui bahwa
pemberian segelas air bersamaan dengan pemberian zat aktif akan mempercepat
proses penyerapan. Bahan pengental yang digunakan dalam formulasi juga akan
meningkatkan viskositas cairan cerna.
8.
Isi
Saluran Cerna yang dapat Mengubah Aksi Zat Aktif
a. Musim
Senyawa ini merupakan mukopolisakarida
alami yang melapisi saluran cerna, dapat membentuk kompleks dengan zat aktif
dan menghambat proses penyerapan. Hal tersebut terjadi pada streptomisina,
dihidrosterpromisina, antikolinergik dan penurunan tekanan darah golongan
amonium kuarterner yang bentuk kompleksnya sangat kuat. Pemberian senyawa
amonium kuartener yang inert secara farmakologik, dapat memperbaiki penyerapan
zat aktif amonium kuartener dengan cara inhibisi kompetitif pada tempat aksi
musim.
b. Garam
empedu
Konsentrasi garam empedu,
bahan penurunan tegangan permukaan fisiologik berada diatas konsentrasi misiler
kritik (CMC). Jadi dapat terjadi interaksi antara garam empedu dan zat – zat
aktif dengan miselinisasi yang dapat “ melarutkan “ zat aktif tertentu yang
tidak larut dalam air dan dengan demikian memperbaiki penyerapannya. Hal
tersebut terjadi bila zat aktif mempunyai sifat kimia tertentu sehingga dapat
diserap dengan mudah. Pada keseimbangan antara bentuk bebas dan bentuk
miselnya, bila bentuk bebas diserap dengan cepat maka media air segera “ diisi
kembali “ oleh bentuk bebasnya yang dilepaskan oleh misel. Proses ini akan
meningkatkan penyerapan, seperti yang telah diketahui sejak lama berlaku untuk
monogliserida, asam lemak dan vitamin larut-lemak, juga berlaku terhadap sulfadiasina,
fenolftalein dan steroida tertentu.
c. Ion-ion
tertentu : Ca, Mg, Fe.
Molekul-molekul
tertentu dengan ion-ion bervalensi dua atau tiga, seperti kalsium atau
magnesium akan membentuk kelat yang tak terserap.
d. Flora
Usus
Flora usus mengeluarkan
enzim, misalnya penisilinase yang menginaktifkan zat aktif tertentu.
e. Enzim
Enzim dapat merusak zat
aktif tertentu, misalnya zat aktif peptida akan merusak oleh enzimproteolitik
(insulin, ositosin). Dalam hal tertentu, enzim tersebut menyebabkan peningkatan perlepasan obat dan
mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau sediaan lepas lambat, lipase
usus akan menghidrolisa lemak tahan asam.
v FAKTOR PATOLOGI
Faktor patologi
berpengaruh pada 3 hal utama, yaitu pengetahan, pergerakan dan penyerapan.
1. Gangguan
Fungsi Pengetahan
Psikis
merupakan satu faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat proses
pengeluaran getah. Pada orang pemarah akan terjadi peningkatan pengeluaran getah dan sebaliknya akan terjadi
hambatan pengeluaran getah pada seseorang yang depresif.
Pengeluaran
getah lambung meningkat pada keadaan tukak duedenum yang mana berlebihan asam
dapat merusak aktivitas enzim pankreatik. Sebaliknya pengeluaran getah lambung
berkurang pada keadaan pH yang meningkat akibat tukak lambung, gastritis kronis,
penyakit beimer dan diabetes.
Tidak
cukupnya pengeluaran getah empedu yang disebabkan oleh pembuntuan (obstruksi)
saluran empedu akan menghambat penyerapan lemak dan vitamin yang larut dalam
lemak.
2. Gangguan Transit
Waktu tinggal dalam
lambung pada umumnya akan meningkat pada keadaan:
Ø Penyempitan
pilorus (stenose pylorus)
Ø Tukak
lambung (ulkus ventriculi) pada
bagian juxta pylorus
Ø Kelainan
pembuluh darah tertentu
Ø Sprue
Ø Myxcodemia
(salah satu bentuk peradangan kelenjar)
Gerakan usus halus tergantung pada
sistem simpatik dan
Semua hal yang berpengaruhi gerakan
tersebut juga akan mempengaruhi waktu transit. Tukak duedenal menyebabkan
gerakan duodenum yang berlebihan sedangkan sprue dan colitis ulcerosa
(keradangan usus besar yang bersifat seperti tukak) umumnya menghambat gerakan
usus.
3. Gangguan
Penyerapan.
a. Pengurangan
luas permukaan penyerap
Ø Pembedahan: Gastrectomie (berpengaruh pada luas
permukaan penyerap, pemotongan usus (pengaruhnya tergantung pada panjang dan
letak pemotongan)
Ø Anomali
atau cacat pada mukosa permukaan, baik karena bawaan atau karena perolehan
:entropati pada gluten, intoleransi selektif pada karbohidrat dan pertumbuhan
mikroba.
b. Perubahan
Media Usus
Ø Penambahan
senyawa anti mikroba atau anti parasit dapat memutuskan ikatan konjugasi garam empedu (akibat terjadi
kesalahan penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak), dan merusak zat aktif
sebelum diserap (vitamin B12).
Ø Adanya
bahan obat antimikroba berspektrum luas dapat mengganggu keseimbangan flora
usus, misalnya neomisina dapat merintangi kerja. Lipase pankreatik dan garam
empedu
E.
EVALUASI
BIOFARMASETIK
Langkah
pertama adalah mengetahui apakah sediaan dengan perlepasan zat aktif yang
terkendali telah terbukti.Dengan pengenalan sifat fisika-kimia zat aktif dapat
diperkirakan efek farmakologik dan farmakokinetiknya.
Langkah
kedua adalah mendapatkan parameter farmakokinetiknya yang diperlukan untuk
menghitung jumlah obat yang diberikan pada tahap awal dan pada tahap perlepasan
terkendali. Dari data yang diperoleh setelah pemberian larutan obat secara
intravena atau peroral, maka dapat dihitung tetapan laju penyerapan Ka, tetapan
laju peniadaan ke dan waktu paruh t1/2 biologik, waktu untuk
mencapai puncak dan intensitas puncak plasmatik sebagai fungsi dosis yang
diberikan. Dari data klinik dapat diketahui konsentrasi terapetik saat
diperlukan dan yang harus bertahan selama 10-12 jam (pada kondisi normal
sehingga dapat diketahui hubungan antara kadar dalam darah dan aktivitas terapetik).
Langkah
ketiga adlah pemilihan bentuk sediaan yang sesuai dengan perlepasan terkendali
yang optimun. Setiap bentuk sediaan berbeda dan harus diuji perlepasan zat
aktif in vitro dan in vivo.
Langkah
keempat adalah menetapkan laju perlepasan zat aktif dari sediaan. Dengan
demikian perubahan pemakaian zat tambahan atau cara pembuatan sediaan akan
disesuaikan dengan skema perlepasan terhadap laju perlepasan yang dikehendaki.
Langkah terakhir
adalah melakukan uji klinik untuk membuktikan bentuk sediaan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Robby Prama Yudha
150 2010 182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar