Senin, 30 September 2013

*Asma

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak nafas, dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran nafas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag, serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran nafas. Proses ini dapat terjadi pada asma asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.

Interaksi obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek. Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat.
Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar 2 atau lebih obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang interaksi farmakokinetik.
- Faktor penjamu (faktor pada pasien) :

  1. Aspek genetik
  2. Kemungkinan alergi
  3. Saluran napas yang memang mudah terangsang
  4. Jenis kelamin
- Faktor lingkungan :

  1. Bahan-bahan di dalam ruangan : Tungau debu rumah, kecoa
  2. Bahan-bahan di luar ruangan : Tepung sari bunga, Jamur
  3. Makanan-makanan tertentu, bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan
  4. Obat-obatan tertentu
  5. Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
  6. Ekspresi emosi yang berlebihan
  7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
  8. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
  9. Infeksi saluran napas
  10. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas fisik tertentu
  11. Perubahan cuaca


Klasifikasi Asma
Klafikasi asma berdasarka gejala, yaitu :

  1. Asma Intermitten. Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Diantara dua serangan APE (Pemantaun Arus Puncak Ekspirasi) normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas bronkus yang ringan.
  2. Asma Persisten. Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan sering terjadi dan terdapat hiperaktivitas bronkus. Pada beberapa penderita asma persisten yang berlangsung lama, faal paru tidak pernah kembali normal meskipun diberikan peng-obatan kortikosteroid yang intensif.
  3. Brittle Asthma. Penderita jenis ini mempunyai saluran napas yang sangat sensitif, variabilitas obstruksi saluran napas dari hari ke hari sangat ekstrim: Penderita ini mempunyai risiko tinggi untuk efektif meskipun tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak terdiagnosisnya penyakit ini dan pengobatan yang tidak cukup.
Klasifikasi asma berdasarkan penyebabnya,asma digolongkan menjadi:
1.      Asma alergi
Asma alergi berhubungan dengan sejarah penyakit alergi yang diderita seseorang dan atau keluarganya (rhinitis, urtikaria, dan eksim) memberikan reaksi kulit positif pada pemberian injeksi antigen secara intradermal, peningkatan IgE dalam serum, serta memberikan respon positif pada uji inhalasi antigen spesifik
2.      Asma non alergi
Asma dapat pula dapat terjadi pada seseorang yang tidak memiliki sejarah alergi, uji kulit negatif, dan kadar IgE dalam serumnya normal. Asma jenis ini antara lain dapat timbul ketika seseorang menderita penyakit saluran nafas atas
3.      Campuran asma alergi dan non alergi
Banyak penderita asma yang tidak dapat jelas dikelompokkan pada asma alergi dan non alergi, tapi memiliki penyebab diantara kedua kelompok tersebut.
Klasifikasi berdasarkan organ yang diserang
1.      Asma bronkhial
Asma ini merupakan serangan gangguan pernapasan dan terjadi kesulitan respirasi karena penyempitan spastik bronkhus dan pembengkakan mukosa yang disertai pengeluaran lendir kental dan kelenjar bronkhus.
2.      Asma kardiak
Asma ini merupakan serangan gangguan pernapasan pada penderita penyakit jantung akibat tidak berfungsi bilik kiri jantung dan bendungan pada paru-paru.

Pengobatan Asma                 
 Pengobatan non farmakologi
1. Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma beserta komplikasinya. Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat
yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter, karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat.Banyak minum akan mengencerkan dahak yang ada di saluran pernapasan, sehingga dahak tadi mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita kurang minum, dahak akan menjadi sangat kental, liat dan sukar dikeluarkan.Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang kekurangan cairan. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan dalam.
2. Menjaga kebersihan lingkungan
Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Saluran pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi barang-barang untuk menghindari debu rumah.Hewan peliharaan, asap rokok, semprotan nyamuk, atau semprotan rambut dan lain-lain mencetuskan penyakit asma. Lingkungan pekerjaan juga perlu mendapat perhatian apalagi kalau jelas-jelas ada hubungan antara lingkungan kerja dengan serangan penyakit asmanya.
3. Menghindari Faktor Pencetus
Alergen yang tersering menimbulkan penyakit asma adalah tungau debu sehingga cara-cara menghindari debu rumah harus dipahami. Alergen lain seperti kucing, anjing, burung, perlu mendapat perhatian dan juga perlu diketahui bahwa binatang yang tidak diduga seperti kecoak dan tikus dapat menimbulkan penyakit asma.Infeksi virus saluran pernapasan sering mencetuskan penyakit asma. Sebaiknya penderita penyakit asma menjauhi orang-orang yang sedang terserang influenza. Juga dianjurkan menghindari tempat-tempat ramai atau penuh sesak.Hindari kelelahan yang berlebihan, kehujanan, penggantian suhu udara yang ekstrim, berlari-lari mengejar kendaraan umum atau olahraga yang melelahkan. Jika akan berolahraga, lakukan latihan pemanasan terlebih dahulu dan dianjurkan memakai obat pencegah serangan penyakit asma. Zat-zat yang merangsang saluran napas seperi asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap cat atau uap zat-zat kimia dan udara kotor lainnya harus dihindari.Perhatikan obat-obatan yang diminum, khususnya obat-obat untuk pengobatan darah tinggi dan jantung (beta-bloker), obat-obat antirematik (aspirin, dan sejenisnya). Zat pewarna (tartrazine) dan zat pengawet makanan (benzoat) juga dapat menimbulkan penyakit asma.


Sumber Pustaka:
1. Harknes R., Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung.
2. Dipiro Joseph., Pharmacoteraphy a Pathophisiologic Approach, 5th edition, Mc Grow-Hill Medical Publishing       Division.
3. Mutschler E., Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi edisi 5, Penerbit ITB, Bandung, 2001.
4. Rahardja Kirana, Tjay Tan Hoan, Obat-Obat Penting, edisi 6, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2007
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma, Jakarta, 2004

Jumat, 05 Juli 2013

Si Buah Manis Ramadhan


Siapa tak kenal kurma? Buah manis yang berasal dari Arab ini merupakan buah musiman di Indonesia. Kenapa musiman? Karena hanya muncul pada saat menjelang bulan ramadhan saja. Selebihnya kurma entah bersembunyi dimana.
Kandungan gula dalam kurma memiliki daya serap yang buruk, sekitar 45-50 menit sehingga waktu untuk pengolahan menjadi nutrisi yang disalurkan ke dalam darah menjadi lumayan lama. Lalu apa manfaat kurma bagi kesehatan?? Berikut ini adalah beberapa manfaat kurma untuk kesehatan:
-          Mengandung zat gula yang sangat besar yang sangat dibutuhkan tubuh
-          Mudah dicerna, sehingga tidak memberatkan alat pencernaan
-          Menyiapkan lambung untuk menerima makanan, setelah seharian lambung beristirahat
-          Mencegah penyakit maag yang timbul karena pergantian jadwal makan
-          Alkalinitas yang dikandung kurma menetralisir asam kuat pada darah yang sering menyebabkan diabetes, rematik, ginjal, darah tinggi dan wasir
-          Untuk penderita demam berdarah, yang mengalami penurunan jumlah trombosit (keping darah), juga bisa dibantu mengembalikan kondisinya dengan mengonsumsi buah ini
-          Kurma mengurangi rasa lapar dengan cepat, sehingga mengurangi dorongan untuk makan dalam porsi yang banyak. Ini hikmah dari berbuka puasa makan kurma dan minum air putih sebagaimana sunah Rasulullah. Sampai tarawih tidak terasa lapar. Tidak percaya? coba buktikan!

Berdasarkan suatu penelitian, di dalam kurma terdapat sejenis hormon yang bernama oksitasin. Ada beberapa manfaat dari oksitasin ini, yakni membantu memperlancar persalinan, meningkatkan produksi air susu ibu, dan meningkatkan kemampuan seksual baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Buah ajaib ini juga mengandung zat sililiat, zat yang biasa ada dalam aspirin. Hal inilah yang membuat orang yang mengonsumsi kurma terbantu dalam meningkatkan kerja otak. Selain itu juga bisa membantu mengurangi rasa sakit, mengurangi risiko hipertensi dan penyakit jantung.
Memakan kurma saat berbuka adalah sesuatu yang nikmat. Rasa manis kurma mampu menggantikan tenaga yang hilang saat matahari bepijar. Tetapi yang akan dimakan itu jumlahnya jangan terlalu banyak karena akan membuat kita cepat kenyang. Inilah resep sederhana dan menyehatkan, berbuka puasa tidak perlu makanan berlimpah yang pada akhirnya mubazir karena tidak termakan, cukup kurma dan air putih, selain kenyang, menyehatkan juga beribadah dengan mempraktekkan salah satu sunah Rasulullah. (Disadur dari berbagai sumber)

Junk Food = Narkoba



Orang yang terbiasa makan burger, sosis, snack, dan jenis kue yang berlemak akan sulit menghentikan kebiasaannya itu karena otak sudah memprogram makanan itu sebagai candu. Selama ini orang mengenal junk food sebagai makanan sampah yang tinggi lemak dan gula tapi sedikit nutrisinya. Tapi ternyata tidak hanya itu, saking berbahayanya, seorang ahli saraf, Dr Paul Kenny sampai mengatakan bahwa junk food sama dengan narkoba.
 "Sudah terbukti, junk food adalah candu yang membuat seseorang kehilangan kontrol makan," ujar Kenny. Mereka yang mengonsumsi junk food menurut Kenny akan merasakan efek senang, nyaman dan tenang yang bisa berakibat candu jika tidak mengonsumsinya lagi.
Bukti yang ditemukan peneliti adalah kesamaan antara fondasi saraf-saraf di dalam otak yang disebut juga sebagai zat neurobiological. "Setelah diperiksa, ternyata struktur saraf pada otak orang obesitas yang sering mengonsumsi junk food sama dengan orang yang kecanduan obat-obatan atau narkoba," jelas Kenny.

Dr Kenny bekerja di Florida’s Scripps Research Institute, melakukan penelitiannya dengan menggunakan tikus percobaan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama diberi makanan sehat dalam jumlah banyak. Kelompok kedua diberi makanan junk food tapi dibatasi. Kelompok ketiga diberi makanan junk food tak terbatas, diantaranya kue keju dan snack cokelat. Hasilnya, tikus di kelompok ketiga menjadi gemuk dengan sangat cepat sedangkan tikus di kelompok pertama dan kedua tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan dari berat awalnya.

Peneliti pun kemudian melakukan pemeriksaan pada otak tikus dari tiga kelompok tersebut. Sebelumnya sebuah stimulasi elektrik diberikan pada bagian otak yang berfungsi mengeluarkan hormon pemberi rasa senang dan nyaman (oxytocin, serotonin, dopamin, feromon, endorfin, dan lainnya). Dari situ diketahui bahwa ternyata otak tikus di kelompok ketiga membutuhkan stimulasi yang terus menerus untuk mengeluarkan hormon pembawa rasa senang. Sedangkan pada dua tikus di kelompok lainnya, sedikit stimulasi saja bisa membuat hormon itu keluar.

Hipotesis peneliti adalah, untuk mencapai tingkat kesenangan yang sama, tikus yang mengonsumsi junk food butuh stimulasi yang lebih banyak daripada tikus yang tidak atau jarang makan junk food, dan itu artinya junk food adalah stimulasi yang membawa pada kecanduan. Sama halnya dengan narkoba.

Beberapa bahan khusus yang dipakai untuk memproduksi junk food seperti jenis lemak dan gula tertentu memang didesain untuk membuat konsumen ingin tambah dan tambah lagi. Hal itu yang disinyalir peneliti membuat orang ketagihan. Makan junk food boleh-boleh saja, namun pengendalian diri juga penting. (Sumber: detik.com)

Kamis, 20 Juni 2013

Referensi Data Klinik


Buat Referensi Mata Kuliah Kimia Klinik,...


1.      Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari hemogram ditambah leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil (segmented dan bands), basofil, eosinofil, limfosit dan monosit.
Rentang nilai normal hematologi bervariasi pada bayi, anak anak dan remaja, umumnya lebih tinggi saat lahir dan menurun selama beberapa tahun kemudian.
Nilai pada orang dewasa umumnya lebih tinggi dibandingkan tiga kelompok umur
di atas. Pemeriksaan hemostasis dan koagulasi digunakan untuk mendiagnosis dan memantau pasien dengan perdarahan, gangguan pembekuan darah, cedera
vaskuler atau trauma.

a)   Hematokrit (Hct)
Nilai normal:          Pria        : 40% - 50 %  SI unit  : 0,4 - 0,5
Wanita    : 35% - 45%   SI unit  : 0.35 - 0,45

Deskripsi:
Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah
total.

Implikasi klinik:
•       Penurunan  nilai  Hct  merupakan  indikator  anemia      (karena  berbagai
sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid.  Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.
       Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan
paru-paru kronik, polisitemia dan syok.
       Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran
eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
       Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah
lebih kecil), nilai Hct akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik
terkumpul pada volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah merah
terlihat normal.
       Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
       Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

Faktor pengganggu
       Individu yang tinggal pada dataran tinggi memiliki nilai Hct yang tinggi
demikian juga Hb dan sel darah merahnya.
       Normalnya, Hct akan sedikit menurun pada hidremia fisiologis pada
kehamilan

        Nilai Hct normal bervariasi sesuai umur dan jender.  Nilai normal untuk           bayi lebih tinggi karena bayi baru lahir memiliki banyak sel makrositik. Nilai Hct pada wanita biasanya sedikit lebih rendah dibandingkan laki-laki.
•        Juga terdapat kecenderungan nilai Hct yang lebih rendah pada kelompok           umur lebih dari 60 tahun, terkait dengan nilai sel darah merah yang lebih rendah pada kelompok umur ini.
•        Dehidrasi parah karena berbagai sebab meningkatkan nilai Hct.

Hal yang harus diwaspadai
Nilai Hct <20% dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian; Hct >60% terkait dengan pembekuan darah spontan

b)   Hemoglobin (Hb)
Nilai normal :         Pria  : 13 - 18 g/dL         SI unit  : 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita: 12 - 16 g/dL    SI unit  : 7,4 - 9,9  mmol/L

Deskripsi:
Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen
(O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut oksigen darah (dalam arteri)
berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34
mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel darah merah.
Penurunan protein Hb normal tipe A1, A2, F (fetal) dan S berhubungan dengan anemia sel sabit. Hb juga berfungsi sebagai dapar melalui perpindahan klorida kedalam  dan keluar  sel darah merah berdasarkan kadar O2 dalam plasma
(untuk tiap klorida yang masuk  kedalam sel darah merah, dikeluarkan satu anion HCO
3).
Penetapan anemia didasarkan pada nilai hemoglobin yang berbeda secara individual karena berbagai adaptasi tubuh (misalnya ketinggian, penyakit
paru-paru, olahraga). Secara umum, jumlah hemoglobin kurang dari 12 gm/dL menunjukkan anemia. Pada penentuan status anemia, jumlah total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit.                                                                       




Implikasi klinik           :
       Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena
kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
•       Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia,
luka bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah dataran tinggi.
       Konsentrasi Hb berfluktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan
luka bakar.
•       Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia,
respons terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia.

Faktor pengganggu
       Orang yang tinggal di dataran tinggi mengalami peningkatan nilai Hb
demikian juga Hct dan sel darah merah.
       Asupan cairan yang berlebihan menyebabkan penurunan Hb
       Umumnya nilai Hb pada bayi lebih tinggi (sebelum eritropoesis mulai aktif)
       Nilai Hb umumnya menurun pada kehamilan sebagai akibat peningkatan
volume plasma
       Ada banyak obat yang dapat menyebabkan penurunan Hb. Obat yang
dapat meningkatkan Hb termasuk gentamisin dan metildopa
       Olahraga ekstrim menyebabkan peningkatan Hb

Hal yang harus diwaspadai
1.     Implikasi klinik akibat kombinasi dari penurunan Hb, Hct dan sel darah
merah.  Kondisi  gangguan  produksi  eritrosit  dapat  menyebabkan penurunan nilai ketiganya.
2.     Nilai Hb   <5,0g/dL adalah kondisi yang dapat memicu gagal jantung
dan kematian.  Nilai >20g/dL memicu kapiler clogging sebagai akibat
hemokonsenstrasi

Tatalaksana
Manajemen anemia bertujuan untuk mengatasi penyebab rendahnya nilai
hemoglobin. Dalam situasi terjadi penurunan darah yang akut, transfusi


merupakan terapi pilihan. Dalam situasi terjadi kekurangan atau penurunan nutrisi maka diperlukan penggantian besi, vitamin B12 atau asam folat. Pada
penurunan fungsi ginjal dan penggunaan sitostatika, anemia biasanya terjadi
karena menurunnya produksi eritropoetin sehingga terapi yang tepat adalah
pemberian eritropoetin, namun apabila ada kendala biaya yang mahal, dapat
diganti dengan tranfusi darah. Jika anemia terjadi akibat menurunnya produksi eritropoetin maka terapi penggantian eritropoetin dapat mengurangi kebutuhan tranfusi.

c)     Eritrosit (sel darah merah)
Nilai normal: Pria: 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3             SI unit: 4,4 - 5,6 x 1012 sel/L
Wanita: 3,8-5,0 x 106 sel/mm3         SI unit: 3,5 - 5,0 x 1012 sel/L

Deskripsi:
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh Hb. Eritrosit yang berbentuk cakram bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb dapat lebih banyak. Bentuk bikonkaf juga memungkinkan sel berubah bentuk agar lebih mudah melewati kapiler yang kecil. Jika kadar oksigen menurun hormon eritropoetin akan menstimulasi produksi eritrosit.
Eritrosit, dengan umur 120 hari, adalah sel utama yang dilepaskan dalam sirkulasi. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa akan dilepaskan
kedalam sirkulasi. Pada akhir masa hidupnya, eritrosit yang lebih tua keluar dari 
sirkulasi melalui fagositosis di limfa, hati dan sumsum tulang (sistem retikulo-
endotelial).
Proses eritropoiesis pada sumsum tulang melalui beberapa tahap, yaitu: 1. Hemocytoblast (prekursor dari seluruh sel darah); 2. Prorubrisit (sintesis Hb); 3. Rubrisit (inti menyusut, sintesa Hb meningkat); 4. Metarubrisit (disintegrasi inti, sintesa  Hb meningkat; 5. Retikulosit (inti diabsorbsi); 6. Eritrosit (sel dewasa
tanpa inti).
Implikasi klinik :
      Secara umum nilai Hb dan Hct digunakan untuk memantau derajat anemia,
serta respon terhadap terapi anemia
      Jumlah  sel  darah  merah  menurun  pada  pasien  anemia  leukemia,
penurunan fungsi ginjal, talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus




sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia). Misalnya: sitostatika, antiretroviral.
       Sel darah merah meningkat pada polisitemia vera, polisitemia sekunder,
diare/dehidrasi, olahraga berat, luka bakar, orang yang tinggal di dataran
tinggi.

Susunan Sel Darah Merah
1).    Mean Corpuscular Volume (MCV) (Volume korpuskuler rata - rata)
Perhitungan   :  MCV (femtoliter) =  10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL)
Nilai normal   : 80 - 100 (fL)

Deskripsi     :
MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal), Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran
kecil >100 fL).

Implikasi klinik            :
      Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi,
anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
•      Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi
antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik.
      Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit
yang abnormal.
      MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya
variasi berupa mikrositik dan makrositik walaupun nilai MCV tetap
normal.
•      MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT)
dan sering digunakan sebagi pengukur kepatuhan secara tidak langsung.

2).  Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) (Hemoglobin Korpuskuler rata
- rata)
Perhitungan   : MCH (picogram/sel) =  hemoglobin/sel darah merah
Nilai normal   :  28- 34 pg/ sel







Deskripsi:
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.

Implikasi Klinik:
      Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik
      Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.

3).   Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Konsentrasi
Hemoglobin Korpuskuler rata - rata)
Perhitungan   :  MCHC = hemoglobin/hematokrit
Nilai normal    : 32 - 36  g/dL

Deskripsi:
Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC
tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang 
lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku pada MCH.

Implikasi Klinik:
      MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik,
anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
      MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.

4).   Retikulosit
Perhitungan : Retikulosit (%) = [Jumlah retikulosit / Jumlah eritrosit] X 100 Nilai normal : 0,5-2%

Deskripsi:
Retikulosit adalah sel darah yang muda, tidak berinti merupakan bagian dari rangkaian pembentukan eritrosit di sumsum tulang. Peningkatan jumlah retikulosit mengindikasikan bahwa produksi sel darah merah dipercepat; penurunan jumlah retikulosit mengindikasikan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang berkurang.







Implikasi Klinik:
•      Jumlah   retikulosit   dapat   membedakan   antara   anemia   karena
kerusakan sumsum tulang dengan anemia karena pendarahan atau hemolisis (kerusakan sel darah) karena pendarahan atau hemolisis akan menstimulasi pembentukan retikulosit pada pasien dengan sumsum tulang yang normal.
•      Jumlah retikulosit akan meningkat pada pasien anemia hemolitik,
penyakit sel sabit dan metastase karsinoma.
•      Jika jumlah retikulosit tidak meningkat pada pasien anemia, hal ini
menandakan sumsum tulang tidak memproduksi eritrosit yang cukup (misal anemia kekurangan besi, anemia aplastik, anemia pernisiosa, infeksi kronik dan terapi radiasi).
•      Setelah pengobatan anemia, peningkatan retikulosit menandakan
efektifitas pengobatan. Setelah pemberian dosis besi yang cukup pada anemia kekurangan besi, jumlah retikulosit akan meningkat 20%; peningkatan secara proporsional terjadi ketika dilakukan transfusi pada anemia pernisiosa. Peningkatan maksimum diharapkan terjadi 7-14 hari setelah pengobatan (suplemen besi).


d)    Leukosit (sel darah putih)
Nilai normal    :  3200 - 10.000/mm3               SI  : 3,2 - 10,0 x 109/L

Deskripsi:
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit   organisme   asing   dan   memproduksi   atau   mengangkut/ mendistribusikan antibodi. Ada dua tipe utama sel darah putih:
       Granulosit: neutrofil, eosinofil dan basofil
       Agranulosit: limfosit dan monosit
Leukosit terbentuk di sumsum tulang (myelogenous), disimpan dalam jaringan limfatikus (limfa, timus, dan tonsil) dan diangkut oleh darah ke organ dan jaringan. Umur leukosit adalah 13-20 hari. Vitamin, asam folat dan asam amino dibutuhkan dalam pembentukan leukosit. Sistem endokrin mengatur produksi, penyimpanan dan pelepasan leukosit.
Perkembangan granulosit dimulai dengan myeloblast (sel yang belum dewasa di sumsum tulang), kemudian berkembang menjadi promyelosit, myelosit (ditemukan  di  sumsum  tulang),  metamyelosit  dan  bands (neutrofil  pada





tahap awal kedewasaan), dan akhirnya, neutrofil. Perkembangan limfosit dimulai dengan limfoblast (belum dewasa) kemudian berkembang menjadi prolimfoblast dan akhirnya menjadi limfosit (sel dewasa). Perkembangan
monosit dimulai dengan monoblast (belum dewasa) kemudian tumbuh menjadi promonosit dan selanjutnya menjadi monosit (sel dewasa).

Implikasi klinik:
      Nilai krisis leukositosis:      30.000/mm3. Lekositosis hingga     50.000/mm3
mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai
leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh
leukemia. Penderita kanker post-operasi       (setelah menjalani operasi)
menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan
infeksi.
      Biasanya terjadi akibat peningkatan 1 tipe saja          (neutrofil). Bila tidak
ditemukan anemia dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi
dengan leukemia
      Waspada terhadap kemungkinan leukositosis akibat pemberian obat.
      Perdarahan, trauma, obat (mis: merkuri, epinefrin, kortikosteroid), nekrosis,
toksin, leukemia dan keganasan adalah penyebab lain leukositosis.
      Makanan, olahraga, emosi, menstruasi, stres, mandi air dingin dapat
meningkatkan jumlah sel darah putih
      Leukopenia, adalah penurunan jumlah leukosit <4000/mm3. Penyebab
leukopenia antara lain:
1.     Infeksi virus, hiperplenism, leukemia.
2.     obat (antimetabolit, antibiotik, antikonvulsan, kemoterapi)
3.     Anemia aplastik/pernisiosa
4.     Multipel mieloma
      Prosedur pewarnaan: Reaksi netral untuk netrofil; Pewarnaan asam untuk
eosinofil; Pewarnaan basa untuk basofil
•      Konsentrasi leukosit mengikuti ritme harian, pada pagi hari jumlahnya
sedikit, jumlah tertinggi adalah pada sore hari
•      Umur, konsentrasi leukosit normal pada bayi adalah (6 bulan-1 tahun)
10.000-20.000/mm3 dan terus meningkat sampai umur 21 tahun
      Manajemen neutropenia disesuaikan dengan penyebab rendahnya nilai
leukosit


                                sel darah putih 
Deskripsi:
       Neutrofil melawan infeksi bakteri dan gangguan radang
       Eosinofil melawan gangguan alergi dan infeksi parasit
       Basofil melawan diskrasia darah dan penyakit myeloproliferatif
       Limfosit melawan infeksi virus dan infeksi bakteri
       Monosit melawan infeksi yang hebat

1)   Neutrofil
Nilai normal: Segment : 36% - 73%  SI unit  : 0,36 - 0,73
                       Bands : 0% - 12%    SI unit  : 0,00 - 0,12

Deskripsi
Neutrofil adalah leukosit yang paling banyak. Neutrofil terutama berfungsi sebagai pertahanan terhadap invasi mikroba melalui fagositosis. Sel ini
memegang peranan penting dalam kerusakan jaringan yang berkaitan dengan penyakit noninfeksi seperti artritis reumatoid, asma dan radang
perut.
Implikasi klinik:
      Neutrofilia, yaitu peningkatan persentase neutrofil, disebabkan oleh
infeksi bakteri dan parasit, gangguan metabolit, perdarahan dan
gangguan myeloproliferatif.







      Neutropenia yaitu penurunan persentase neutrofil, dapat disebabkan
oleh penurunan produksi neutrofil, peningkatan kerusakan sel, infeksi bakteri, infeksi virus, penyakit hematologi, gangguan hormonal dan infeksi berat.
•      Shift to left atau peningkatan bands (sel belum dewasa) terjadi ketika
neurofil muda dilepaskan kedalam sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh infeksi, obat kemoterapi, gangguan produksi sel (leukemia) atau perdarahan.
•      Shift of the right atau peningkatan segment (sel dewasa) terjadi pada
penyakit hati, anemia megalobastik karena kekurangan B12 dan asam
folat, hemolisis, kerusakan jaringan, operasi, obat (kortikosteroid) 
•      Peningkatan jumlah neutrofil berkaitan dengan tingkat keganasan
infeksi.
      Derajat neutrofilia sebanding dengan jumlah jaringan yang mengalami
inflamasi.
•      Jika peningkatan neutrofil lebih besar daripada peningkatan sel darah
merah total mengindikasikan infeksi yang berat.
•      Pada kasus kerusakan jaringan dan nekrosis (seperti: kecelakaan,
luka    bakar,  operasi),  neutrofilia  terjadi  akibat  peningkatan  zat neutrofilik atau mekanisme lain yang belum diketahui.

Faktor pengganggu
      Kondisi fisiologi seperti stres, senang, takut, marah, olahraga secara
sementara menyebabkan peningkatan neutrofil.
      Wanita yang melahirkan dan menstruasi dapat terjadi neutrofilia
      Pemberian steroid: puncak neutrofilia pada 4 hingga 6 jam dan
kembali normal dalam 24 jam (pada infeksi parah, neutrofilia tidak
terjadi)
      Paparan terhadap panas atau dingin yang ekstrim
      Umur:
-    Anak-anak   merespon   infeksi   dengan   derajat   leukositosis
        
neutrofilia yang lebih besar dibandingkan dewasa
-    Beberapa pasien lanjut umur merespon infeksi dengan derajat
        
netrofil yang lemah, bahkan ketika terjadi infeksi parah









      Resistensi
-    Orang pada semua kisaran umur dalam kondisi kesehatan lemah
        tidak merespon dengan neutrofilia yang bermakna
      Myelosupresif kemoterapi

Hal yang harus diwaspadai
Agranulositosis   (ditandai dengan neutropenia dan leukopenia) sangat
berbahaya dan sering berakibat fatal karena tubuh tidak terlindungi terhadap mikroba.  Pasien yang mengalami agranulositosis harus diproteksi terhadap infeksi melalui teknik isolisasi terbalik dengan penekanan pada teknik pencucian tangan.

2)   Eosinofil
Nilai normal   :    0% - 6%

Deskripsi
Eosinofil memiliki kemampuan memfagosit, eosinofil aktif terutama pada tahap akhir inflamasi ketika terbentuk kompleks antigen-antibodi. Eosinofil juga aktif pada reaksi alergi dan infeksi parasit sehingga peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan untuk mendiagnosa atau monitoring penyakit. 

Implikasi klinik:
•      Eosinofilia adalah peningkatan jumlah eosinofil lebih dari 6% atau
jumlah absolut lebih dari      500. Penyebabnya antara lain: respon
tubuh terhadap neoplasma, penyakit Addison, reaksi alergi, penyakit collagen vascular atau infeksi parasit.
      Eosipenia  adalah  penurunan  jumlah  eosinofil  dalam  sirkulasi.
Eosipenia dapat terjadi pada saat tubuh merespon stres (peningkatan
produksi  glukokortikosteroid).
      Eosinofil cepat hilang pada infeksi pirogenik
      Jumlah eosinofil rendah pada pagi hari dan meningkat pada sore hari
hingga tengah malam.
      Eosinofilia dapat disamarkan oleh penggunaan steroid dan dapat
meningkat dengan L-triptofan.










Faktor pengganggu
•      Ritme harian:  jumlah eosinofil normal terendah pada pagi hari, lalu
meningkat dari siang hingga setelah tengah malam.  Karena itu, jumlah eosinofil serial seharusnya berulang pada waktu yang sama setiap hari.
      Situasi stres, seperti luka, kondisi pasca operasi, tersengat listrik
menyebabkan penurunan eosinofil
      Setelah pemberian kortikosteroid, eosinofil menghilang.

Hal yang harus diwaspadai
Eosinofil dapat tertutup oleh penggunaan steroid. Berikan perhatian pada pasien yang menerima terapi steroid, epinefrin, tiroksin atau prostaglandin.

3)   Basofil
Nilai normal     :  0% - 2%

Deskripsi:
Fungsi basofil masih belum diketahui.  Sel basofil mensekresi heparin dan histamin. Jika konsentrasi histamin meningkat, maka kadar  basofil biasanya tinggi.  Jaringan basofil disebut juga mast sel.
Implikasi klinik  :
      Basofilia adalah peningkatan basofil berhubungan dengan leukemia
granulositik dan basofilik myeloid metaplasia dan reaksi alergi
•      Basopenia adalah penurunan basofil berkaitan dengan infeksi akut,
reaksi stres, terapi steroid jangka panjang.

4)   Monosit
Nilai normal    : 0%-11%

Deskripsi:
Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Sel ini berfungsi  sebagai
lapis kedua pertahanan tubuh, dapat memfagositosis dengan baik dan 
termasuk kelompok makrofag. Manosit juga memproduksi interferon.

Implikasi klinik:
•      Monositosis  berkaitan  dengan  infeksi  virus,  bakteri  dan  parasit
tertentu serta kolagen, kerusakan jantung dan hematologi.
•      Monositopenia  biasanya  tidak  mengindikasikan  penyakit,  tetapi
mengindikasikan stres, penggunaan obat glukokortikoid, myelotoksik dan imunosupresan.



5)   Limfosit
Nilai normal     :  15% - 45%

Deskripsi:
Merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Sel ini
kecil dan bergerak ke daerah inflamasi pada tahap awal dan tahap akhir
proses inflamasi. Merupakan sumber imunoglobulin yang penting dalam 
respon imun seluler tubuh.  Kebanyakan limfosit terdapat di limfa, jaringan limfatikus dan nodus limfa.  Hanya 5% dari total limfosit yang beredar pada sirkulasi.

Implikasi klinik:
      Limfositosis dapat terjadi pada penyakit virus, penyakit bakteri dan
gangguan hormonal
      Limfopenia dapat terjadi pada penyakit Hodgkin, luka bakar dan
trauma.
      Virosites (limfosit stres, sel tipe Downy, limfosit atipikal) adalah  tipe
sel yang dapat muncul pada infeksi jamur, virus dan paratoksoid,
setelah transfusi darah dan respon terhadap stres.
      Perubahan   bentuk   limfosit   dapat   digunakan   untuk   mengukur
histokompabilitas.
      Jumlah absolut limfosit < 1000 menunjukkan anergy.

Faktor pengganggu
•      Limfositosis pada pediatri merupakan kondisi fisiologis pada bayi
baru lahir yang meliputi peningkatan sel darah putih dan limfosit yang nampak tidak normal yang dapat keliru dengan keganasan sel
      Olahraga, stres emosional dan menstruasi dapat menyebabkan
peningkatan limfositosis

Hal yang harus diwaspadai:
Penurunan limfosit < 500/mm3 menunjukkan pasien dalam bahaya dan rentan terhadap infeksi, khususnya infeksi virus. Harus dilakukan tindakan untuk melindungi pasien dari infeksi

e)   Trombosit (platelet)
Nilai normal      :  170 - 380. 103/mm3                           SI  :  170 - 380. 109/L

Deskripsi
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit diaktivasi setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia. Trombosit terbentuk dalam sumsum tulang. Masa hidup trombosit sekitar 7,5 hari. Sebesar 2/3 dari seluruh trombosit terdapat disirkulasi dan 1/3 nya terdapat di limfa.

Implikasi klinik:
•      Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera,
trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid.
•      Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura
(ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia, multiple myeloma dan multipledysplasia syndrome.
      Obat seperti heparin, kinin, antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat
menyebabkan trombositopenia
      Penurunan trombosit di bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan
spontan dalam jangka waktu yang lama, peningkatan waktu perdarahan
petekia/ekimosis.
      Asam valproat menurunkan jumlah platelet tergantung dosis.
      Aspirin dan AINS lebih mempengaruhi fungsi platelet daripada jumlah
platelet.

Faktor pengganggu
      Jumlah platelet umumnya meningkat pada dataran tinggi; setelah olahraga,
trauma atau dalam kondisi senang, dan dalam musim dingin
      Nilai platelet umunya menurun sebelum menstruasi dan selama kehamilan
      Clumping platelet dapat menurunkan nilai platelet
      Kontrasepsi oral menyebabkan sedikit peningkatan

Hal yang harus diwaspadai
1.     Pada  50%  pasien  yang  mengalami  peningkatan  platelet  ditemukan
keganasan
2.     Pada pasien yang mengalami peningkatan jumlah platelet yang ekstrim
(>1000 x 103/mm3) akibat gangguan myeloproliferatif, lakukan penilaian penyebab abnormalnya fungsi platelet.
3.     Nilai kritis: penurunan platelet hingga < 20 x 103/mm3 terkait dengan
kecenderungan pendarahan spontan, perpanjangan waktu perdarahan, peteki dan ekimosis
4.     Jumlah platelet   > 50 x 103/mm3 tidak secara umum terkait dengan
perdarahan spontan

Perawatan pasien
•       Interpretasi hasil pemeriksaan dan lakukan monitor yang sesuai. Amati
tanda  dan  gejala  perdarahan  saluran  cerna,  hemolisis,  hematuria, petekie,  perdarahan  vagina,  epistases  dan  perdarahan  gusi.  Ketika nampak hemorrhage, lakukan tindakan emergensi untuk mengendalikan perdarahan dan hubungi dokter
•       Transfusi patelet dilakukan jika jumlah platelet <20 x 103/mm3 atau terjadi
perdarahan lesi tertentu. Satu unit konsentrasi platelet meningkatkan jumlah 15 x 103/mm3 .


Tata Laksana Trombositopenia
Pada kondisi rendahnya platelet yang kritis, transfusi platelet dapat dilakukan untuk  memberikan  peningkatan  sementara.  Transfusi  platelet  biasanya memiliki waktu paruh yang lebih pendek dan kecuali jika kondisi penyebab sudah diatasi, maka sering diperlukan transfusi ulang.
Dalam kondisi nilai platelet yang rendah secara signifikan (kurang dari 50 x 109/L) penting memastikan tidak ada obat yang mempengaruhi fungsi platelet
yang ada.  Termasuk semua obat antiplatelet dan obat antiinflamasi non steroid.
Trombositopenia yang terkait dengan auto-imun biasanya diatasi dengan kortikosteroid. Jika diduga terjadi reaksi karena alergi obat, maka hentikan obat yang diduga menyebabkan reaksi alergi tsb.

Tatalaksana Trombositemia
Jika terjadi inflamasi dapat diberikan kortikosteroid dan bila terjadi infeksi
diberikan antibiotik dan harus dilakukan pemantauan ketat munculnya efek 
samping yang tidak diinginkan. Pada kondisi terjadi peningkatan produksi platelet  di atas 1500 x 109/ L, dapat diberikan obat antiproliferatif, namun dapat mengalami trombosis. Oleh karena itu pemberian aspirin atau obat antiplatelet lain dapat dipertimbangkan bagi pemberian pasien yang mengalami risiko kardiovaskular, serebrovaskular, atau pasien yang pernah mengalami trombotik karena tingginya nilai platelet.


f)     Laju Endap Darah (LED)

Nilai normal:
Pria <15mm/1 jam
Wanita <20mm/1 jam

Deskripsi:
LED atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi.

Implikasi klinik
•      nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi akut dan kronis, misalnya
tuberkulosis, arthritis reumatoid, infark miokard akut, kanker, penyakit Hodkin’s, goutSystemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit tiroid, luka bakar, kehamilan trimester II dan III. Peningkatan nilai LED > 50mm/ jam harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan terkait infeksi akut maupun kronis, yaitu: kadar protein dalam serum dan protein, immunoglobulin,  Anti Nuclear Antibody (ANA) Tes, reumatoid factor. 
Sedangkan  peningkatan  nilai  LED     >100mm/jam  selalu  dihubungkan
dengan kondisi serius, misalnya: infeksi, malignansi, paraproteinemia, primary macroglobulinaemia, hiperfibrinogenaemia, necrotizing vaskulitis, polymyalgia rheumatic.
      nilai menurun terjadi pada: polisitemia, gagal jantung kongesti, anemia
sel sabit, Hipofibrinogenemia, serum protein rendah Interaksi obat dengan
hasil laboratorium: etambutol, kuinin, aspirin, dan kortison.

g)   Waktu protrombin (Prothrombin time/PT)
Nilai normal: 10 - 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar laboratorium)

Deskripsi:
Mengukur   secara   langsung   kelainan   secara   potensial   dalam   sistem tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan X).

Implikasi klinik:
•       Nilai meningkat pada defisiensi faktor tromboplastin ekstrinsik, defisiensi
vit.K, DIC (disseminated intravascular coagulation), hemorrhragia pada bayi baru lahir, penyakit hati, obstruksi bilier, absorpsi lemak yang buruk, lupus, intoksikasi salisilat. Obat yang perlu diwaspadai:  antikoagulan (warfarin, heparin)
•       Nilai menurun apabila konsumsi vit.K meningkat


h)   International Normalized Ratio (INR)
Nilai normal: 0,8 - 1,2

Deskripsi:
Menstandarkan nilai PT antar laboratorium. Digunakan untuk memantau penggunaan warfarin
Implikasi klinik: sama dengan PT


i)     aPTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Nilai normal   : 21 - 45 detik ( dapat bervariasi antar laboratorium)
Rentang terapeutik selama terapi heparin biasanya 1,5 - 2,5 kali nilai normal
(bervariasi antar laboratorium)

Deskripsi      :
Mendeteksi defisiensi sistem thromboplastin intrinsik (faktor I, II, V, VIII, IX, X,
XI dan XII). Digunakan untuk memantau penggunaan heparin.

Implikasi klinik:
•      Meningkat pada penyakit von Willebrand, hemofilia, penyakit hati, defisiensi
vitamin K, DIC. Obat yang perlu diwaspadai: heparin, streptokinase, urokinase, warfarin)
      Menurun pada DIC sangat awal, hemorrhagia akut, kanker meluas (kecuali
mengenai hati)


j)      Waktu Thrombin (Thrombin Time/TT)
Nilai normal : dalam rentang 3 detik dari nilai kontrol (nilai kontrol: 16-24 detik), bervariasi antar laboratorium.

Deskripsi:
pemeriksaan yang sensitif untuk defisiensi fibrinogen

Implikasi klinik:
•      Meningkat pada DIC, fibrinolisis, hipofibrinogenemia, multiple mieloma,
uremia, penyakit hati yang parah. Obat yang perlu diwaspadai: heparin,
low-molecular-weight heparin/LMWH,    urokinase,    streptokinase,
asparaginase.  60% kasus DIC menunjukkan TT meningkat. Pemeriksaan
TT kurang sensitif dan spesifik untuk DIC dibandingkan pemeriksaan lain
•      Menurun pada hiperfibrinogenemia, hematokrit >55%


k)   Fibrinogen
Nilai normal:  200 - 450 mg/dL atau 2,0 - 4,5 g/L (SI unit)
Nilai kritis:  < 50 atau > 700 mg/dL

Deskripsi:
Memeriksa lebih secara mendalam abnormalitas PT, aPTT, dan TT. Menapis adanya DIC dan fibrinogenolisis.

Implikasi klinik:
      Meningkat pada: penyakit inflamasi contoh: arthritis reumatoid, infeksi,
infark miokard akut, stroke, kanker, sindrom nefrotik, kehamilan dan
eklampsia
·                    Menurun   pada:   DIC,   penyakit   hati,   kanker,   fibrinolisis   primer,
disfibrinogenemia, meningkatnya antitrombin III


l)     D - Dimer
Nilai normal: Negatif atau < 0,5 mcg /mL atau < 0,5 mg/L SI
Peningkatan palsu: pada kondisi titer reumatoid faktor yang tinggi, adanya tumor marker (penanda) CA-125, terapi estrogen dan kehamilan normal.

Deskripsi:
Menilai salah satu produk degradasi fibrin. Terdiri dari berbagai ukuran fibrin terkait silang (cross-linked)

Implikasi klinik:
meningkat pada  DIC, DVT, Emboli paru, gagal hati atau gagal ginjal, kehamilan trimester akhir, preeklamsia, infark miokard, keganasan, inflamasi, infeksi parah, pembedahan dan  trauma


2.   Pemeriksaan Elektrolit
a)    Natrium (Na+)
Nilai normal    : 135 - 144 mEq/L   SI unit  : 135 - 144 mmol/L

Deskripsi  :
Natrium merupakan kation yang banyak terdapat di dalam cairan ekstraseluler. Berperan dalam memelihara tekanan osmotik, keseimbangan asam-basa dan membantu rangkaian transmisi impuls saraf. Konsentrasi serum natrium diatur oleh ginjal, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem endokrin.

Implikasi klinik :
•       Hiponatremia  dapat  terjadi  pada  kondisi  hipovolemia         (kekurangan
cairan tubuh), euvolemia atau hipervolemia (kelebihan cairan tubuh). Hipovolemia terjadi pada penggunaan diuretik, defisiensi mineralokortikoid, hipoaldosteronism, luka bakar, muntah, diare, pankreatitis. Euvolemia
terjadi   pada   defisiensi   glukokortikoid,   SIADH,   hipotirodism,   dan 
penggunaan manitol. Sedangkan hypervolemia merupakan kondisi yang sering terjadi pada gagal jantung, penurunan fungsi ginjal, sirosis, sindrom nefrotik.






      SIADH (Syndrome of Inappropriate Antidiuretik Hormon) menunjukan
peningkatan  cairan  tubuh  dan  hyponatremia.  Keadaan  ini  mungkin disebabkan oleh tumor dan beberapa obat (diuretik tiazid, klorpropamid,
karbamazepin, klofibrat, siklofosfamid) mungkin dan juga berhubungan 
dengan beberapa penyakit paru-paru (TBC, Pneumonia). Pasien dengan SIADH  biasanya  memiliki  konsentrasi  natrium  urin  yang  tinggi  dan
osmolaritas urin yang tidak sebanding dengan osmolaritas serum.
•      Pasien cystic fibrosis dapat menjadi hiponatremia akibat peningkatan
kehilangan natrium melalui keringat.
•      Tanda klinik yang akut dari penurunan kadar elektrolit dalam tubuh adalah
mual, lelah, kram, gejala psikosis, seizures, dan koma.
•      Hipernatremia.  Faktor  yang  mempengaruhi  adalah  faktor  dehidrasi,
aldosteronism, diabetes insipidus dan diuretik osmotik. Umumnya, rasa haus pada hipernatremia merupakan mekanisme pertahanan utama untuk mencegah hipertonisitas. Oleh karena itu, hipernatremia terutama terjadi pada pasien yang tidak dapat asupan cairan secara adekuat (seperti pada pasien yang hilang kesadaran dan bayi).
•      Pertimbangan pemberian terapi IV. Pasien yang menerima natrium >
400 mg/hari (contoh : 3 L/hari larutan garam elektrolit normalnya adalah
yang mengandung 155 mEq/L natrium) biasanya mendapatkan masalah
keseimbangan  cairan  yang  dapat  dilihat  dengan  timbulnya  udema
atau tekanan darah yang meningkat. Kondisi tubuh yang sehat dapat mengakomodasi peningkatan asupan jumlah natrium sepanjang terdapat mekanisme haus dan kemampuan fungsi ginjal yang baik.
•      Banyak obat yang mempengaruhi secara langsung konsentrasi natrium
atau secara tidak langsung mempengaruhi pengeluaran natrium melalui air seni (urin).
      Kekurangan total air dalam tubuh sebesar 1 liter terjadi pada penambahan
setiap 3 mmol Na+ > normal.

Faktor pengganggu
      Banyak obat yang mempengaruhi kadar natrium darah
-    Steroid anabolik, kortikosteroid, laksatif, litium, dan antiinflamasi
nonsteroid dapat meningkatkan kadar natrium
-             Karbamazepin, diuretik, sulfonilurea, dan morfin dapat menurunkan
   kadar natrium
       Trigliserida tinggi atau protein rendah dapat secara artifisial menurunkan
kadar natrium.

Hal yang harus diwaspadai
Nilai kritis untuk Natrium:
<120 mEq/L  lemah, dehidrasi
90-105 mEq/L gejala neurologi parah, penyebab vaskular > 155 mEq/L gejala kardiovaskular dan ginjal
> 160 mEg/L gagal jantung

Perawatan pasien
       Interpretasi hasil pemeriksaan dan monitor ketidakseimbangan cairan dan
natrium
       Pertimbangan terapi IV adalah sebagai berikut:
-    Keseimbangan natrium dipelihara pada dewasa dengan  asupan
        
rata-rata 90 hingga 250 mEq/hari. Nilai maksimum per hari yang
        
dapat ditoleransi adalah 400 mEq/hari. Jika pasien diberikan 3L
        
larutan garam dalam 24 jam, ia akan menerima 465 mEq natrium.
Jumlah ini melebihi nilai rata-rata, kadar yang dapat ditoleransi orang
        
dewasa. Pengeluaran kelebihan natrium pada orang dewasa sehat
        memerlukan waktu 24 hingga 48 jam.
-    Setelah operasi, trauma, atau syok, terdapat penurunan volume
        
cairan ekstraseluler. Penggantian cairan ekstraseluler diperlukan jika
        
keseimbangan air dan elektrolit dijaga. Penggantian larutan IV ideal
        seharusnya memiliki konsentrasi natrium 140 mEq/L
•       Monitor tanda edema atau hipotensi, rekam serta laporkan (jika ditemukan).

Tatalaksana Hipernatremia
Tujuan utama terapi adalah penggantian cairan. Perbaikan kondisi  penyebab (mis: penghentian kehilangan gastrointestinal) atau penghentian obat sering
kali dapat memperbaiki hipernatremia. Manajemen kejang yang terjadi dengan pemberian  antikonvulsan  juga  diperlukan.  Hipernatremia  akut (natrium meningkat dari normal dalam waktu kurang dari 24 jam), biasanya dapat diatasi  dengan cepat.  Bahkan, penanganan hipernatremia kronik tidak memberikan keuntungan dan dapat menyebabkan udem serebral.

Pada diabetes insipidus sentral terdapat gangguan pada produksi ADH. Diabetes insipidus nefrogenik di pihak lain, merupakan kondisi tidak adanya
respon terhadap efek vasopresin (ADH) dan karenanya tidak akan memberikan respon terhadap pemberian vasopresin.  Pada kasus tersebut, dapat diberikan obat yang meningkatkan sensitifitas ginjal terhadap ADH (mis: amilorid, diuretik tiazid).

Tatalaksana Hiponatremia
Penatalaksanaan hiponatremia akibat hipovolemia sangat berbeda dengan penatalaksanaan hipernatremia. Apabila kondisinya hipovolemia, tujuan utama terapi adalah penggantian cairan yaitu dengan pemberian cairan isotonik atau natrium peroral. Untuk hiponetremia karena hipervolemia, Batasi Cairan, berikan furosemid.

b)     Kalium (K+)
Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L            SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
:  ≥ 18 tahun    :  3,6 - 4,8 mEq/L          SI unit :3,6 - 4,8 mmol/L

Deskripsi :
Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler, (bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama. Lebih kurang 80% - 90% kalium dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Aktivitas mineralokortikoid dari adrenokortikosteroid juga mengatur konsentrasi kalium dalam tubuh. Hanya
sekitar 10% dari total konsentrasi kalium di dalam tubuh berada di ekstraseluler dan 50 mmoL berada dalam cairan intraseluler, karena konsentrasi kalium dalam serum darah sangat kecil maka tidak memadai untuk mengukur kalium serum.  Konsentrasi kalium dalam serum berkolerasi langsung dengan kondisi fisiologi pada konduksi saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot jantung.

Implikasi klinik:
•      Hiperkalemia. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium
yaitu: gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison, diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi sel darah merah.
      Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam serum darah kurang
dari   3,5  mmol/L.  Jika  dari  beberapa  tes  ditemukan  kecenderungan






rendahnya konsentrasi kalium (contoh: 0,1-0,2 mmol/L/hari) akan lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan nilai yang rendah pada satu pengukuran. Kondisi hipokalemia akan lebih berat pada diare, muntah, luka bakar parah, aldosteron primer, asidosis tubular ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang kronik, penyakit hati dengan asites, terapi amfoterisin.
       Nilai kalium tidak berubah dengan sirkulasi volume. Kalium adalah ion
intraseluler dan konsentrasi serumnya tidak terpengaruh oleh volume
sirkulasi.
•       Garam kalium klorida (KCl) lebih banyak digunakan untuk pengobatan
hipokalemia. Bilamana kadar K masih diatas 3mEg/L. Bila kurang, berikan KCl injeksi (KCl injeksi termasuk HIGH ALERT MEDICATION). Dosis KCl optimal yang diberikan tergantung pada tingkat hipokalemia dan perubahan EKG. Pasien dewasa  mendapat asupan 60-120 mmoL/hari kalium dan pasien yang tidak menerima makanan melalui mulut mendapat 10-30 mEq/L K+ dari cairan IV.
•       Hipokalemia dan hiperkalemia dapat meningkatkan efek digitalis dan
dapat menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga perlu memeriksa nilai K sebelum pemberian digoksin
       Kalium darah meningkat sekitar 0,6 mmol/L untuk setiap penurunan 0,1
penurunan pH darah (pH normal = 7,4)
       Perubahan EKG yang spesifik terkait dengan perubahan kadar kalium
dalam serum
       Hipokalemia mungkin sulit untuk dikoreksi dengan penambahan KCl jika
pasien juga mengalami hypomagnesemia
       Fungsi neuromuskular dipengaruhi baik oleh  hiperkalemia dan hipokalemia
       Terapi penurunan glukosa dengan insulin, secara IV drip dapat menurunkan
kadar gula darah melalui penggantian kalium intraseluler
•       Perhitungan kekurangan kalium total tubuh tidak dapat ditentukan dengan
tepat. Setiap    1 mmol/L penurunan kalium dalam serum menunjukan kekurangan kalium 100-200 mmol/L. Bila kadar serum turun di bawah 3 mmol/L, tiap 1 mmol/L menunjukan penurunan 200-400 mmol/L kalium dari persediaan total kalium tubuh.
•       Sintesis protein menurun pada defisiensi kalium









Faktor pengganggu
•      Penggunaan obat; pemberian penisilin kalium secara IV mungkin menjadi
penyebab hiperkalemia; penisilin natrium dapat menyebabkan peningkatan ekskresi kalium
      Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan kadar kalium seperti
penisilin natrium, diuretik hemat kalium (spironolakton), ACEI, NSAID
      Hiperkalemia juga sering dijumpai pada gangguan ginjal
      Penurunan kadar kalium sebesar 0,4 mEq/L bisa terjadi setelah pemberian
insulin. Namun manifestasi klinisnya tidak bermakna
      Hiponatremia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung
      Pemberian glukosa selama pemeriksaan toleransi atau asupan dan
pemberian glukosa jumlah besar pada pasien dengan penyakit jantung
dapat menyebabkan penurunan sebesar 0,4 mEq/L kadar darah kalium
      Sejumlah obat yang meningkatkan kadar kalium, khususnya diuretik hemat
kalium dan antiinflamasi nonsteroid, khususnya jika terdapat gangguan
giinjal

c)     Klorida (Cl-)
Nilai normal   : 97 - 106  mEq/L       SI unit  : 97 - 106 mmol/L

Deskripsi:
Anion klorida terutama terdapat di dalam cairan ekstraseluler. Klorida berperan penting dalam memelihara keseimbangan asam basa tubuh dan cairan melalui pengaturan tekanan osmotis. Perubahan konsentasi klorida dalam serum jarang menimbulkan masalah klinis, tetapi tetap perlu dimonitor untuk mendiagnosa penyakit atau gangguan keseimbangan asam-basa.

Implikasi klinik:
•      Penurunan konsentrasi klorida dalam serum dapat disebabkan oleh
muntah, gastritis, diuresis yang agresif, luka bakar, kelelahan, diabetik asidosis,  infeksi  akut.  Penurunan  konsentrasi  klorida  sering  terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik.
      Peningkatan  konsentrasi  klorida  dalam  serum  dapat  terjadi  karena
dehidrasi, hiperventilasi, asidosis metabolik dan penyakit ginjal.

     Nilai klorida berguna dalam menilai gangguan asam-basa yang menyertai gangguan fungsi ginjal. Konsentrasi klorida dalam plasma dapat dijaga agar tetap mendekati nilai normal, walaupun dalam keadaan gagal ginjal. 
•     Konsentrasi natrium, bikarbonat dan klorida dalam serum dapat digunakan  untuk menghitung gap anion (AG) sebagai berikut :  AG = (Na+) - [ HCO3- + Cl-]
•     Gap anion lebih dari 12 mengindikasikan adanya anion yang tidak terukur, seperti metanol, urea, keton, laktat dan etilen glikol.


Faktor pengganggu:
       Konsentrasi klorida plasma pada bayi biasanya lebih tinggi dibandingkan
pada anak-anak dan dewasa
       Beberapa obat tertentu dapat mengubah kadar klorida
       Peningkatan klorida terkait dengan infus garam IV berlebih

Hal yang harus diwaspadai:
nilai kritis klorida:   <70 atau > 120 mEq/L atau mmol/L

Perawatan Pasien
       Memeriksa aktifitas dan diet normal
       Interpretasi hasil pemeriksaan dan monitor dengan memadai
       Jika diduga terjadi gangguan elektrokit, harus dicatat berat badan dan
asupan dan output cairan yang akurat

d)   Glukosa (Fasting Blood Sugar/FBS)
Nilai normal :  ≥ 7 tahun        : 70 - 100  mg/dL         SI unit : 3,89 - 5,55 mmol/L
12 bulan - 6 tahun:  60-100 mg/dL      SI unit  : 3,33 - 5,55 mmol/L

Deskripsi:
Glukosadibentukdarihasilpenguraian karbohidratdanperubahanglikogendalam hati. Pemeriksaan glukosa darah adalah prosedur skrining yang menunjukan
ketidakmampuan sel pankreas memproduksi insulin, ketidakmampuan usus
halus mengabsorpsi glukosa, ketidakmampuan sel mempergunakan glukosa
secara efisien, atau ketidakmampuan hati mengumpulkan dan memecahkan
glikogen.








Implikasi klinik:
•      Peningkatan gula darah (hiperglikemia) atau intoleransi glukosa (nilai
puasa > 120 mg/dL) dapat menyertai penyakit cushing (muka bulan), stres akut, feokromasitoma, penyakit hati kronik, defisiensi kalium, penyakit yang kronik, dan sepsis.
•      Kadar gula darah menurun (hipoglikemia) dapat disebabkan oleh kadar
insulin yang berlebihan atau penyakit Addison.
•      Obat-obat golongan kortikosteroid dan anestetik dapat meningkatkan
kadar gula darah menjadi lebih dari 200 mg/dL.
      Bila konsentrasi glukosa dalam serum berulang-ulang > 140 mg/dL, perlu
dicurigai adanya diabetes mellitus.
      Dengan menghubungkan konsentrasi serum glukosa dan adanya glukosa
pada urin membantu menentukan masalah glukosa dalam ginjal pasien.

Faktor pengganggu
      Merokok meningkatkan kadar glukosa
      Perubahan diet (misalnya penurunan berat badan) sebelum pemeriksaan
dapat menghilangkan toleransi karbohidrat dan terjadi “false diabetes”
      Kadar glukosa normal cenderung meningkat dengan penambahan umur
      Penggunaan  kontrasepsi  oral  jangka  panjang  dapat  menyebabkan
glukosa meningkat secara signifikan pada jam kedua atau spesimen
darah berikutnya
      Penyakit infeksi dan prosedur operasi mempengaruhi toleransi glukosa.
Dua minggu setelah pulih merupakan waktu yang tepat untuk mengukur
kadar glukosa
      Beberapa obat menggangu kadar toleransi glukosa (tidak terbatas pada)
-      Insulin
-      Hipoglikemi oral
-      Salisilat dosis besar
-      Diuretik tiazid
-      Kortikosteroid
-      Estrogen dan kontrasepsi oral
-      Asam nikotinat








-      Fenotiazin
-      Litium
-      Propranolol;
jika memungkinkan, obat tersebut seharusnya dihentikan selama paling kurang 3 hari sebelum pemeriksaan.
•       Tirah baring jangka panjang mempengaruhi hasil toleransi glukosa.

Tatalaksana Hiperglikemia

       Diabetik  ketoasidosis
Terapi awal dari hiperglikemia adalah rehidrasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian  larutan insulin  secara bolus sebesar 10 unit IV dan
diteruskan dengan pemberian infus insulin berikutnya antara 2-5 unit per jam tergantung kondisi klinik pasien. Terapi asidosis metabolik yang terbaik
adalah dengan pemulihan  kondisi rehidrasi dan perbaikan fungsi ginjal.
Pada awal terapi kadar kalium serum normal atau tinggi karena adanya
haemokonsentrasi, ketika hipovalemia dan asidosis terkoreksi, kadar
kalium akan turun dengan cepat karena insulin menyebabkan kalium 
kembali masuk ke dalam sel. Perlu dilakukan pengukuran kadar kalium
secara reguler dan lakukan pemberian pengganti kalium secara reguler
jika diperlukan.

•       Koma non ketotik hiperosmolar hiperglikemi
Tatalaksananya  sama  dengan  diabetik  ketoasidosis.  Sangat  penting dilakukan penggantian cairan. Larutan hipotonik sebaiknya tidak diberikan secara rutin karena akan menyebabkan udem selebral. Pasien yang mengalami kondisi ini memiliki risiko lebih besar terjadinya tromboemboli dan sebaiknya diberikan heparin subkutan profilaksis.

Tatalaksana hipoglikemi
Pada awalnya berikan glukosa sekitar 10 - 20/g glukosa secara oral. Glukosa 10/g setara dengan dengan 2 sendok teh gula, 20/0mL susu. Jika diperlukan kembali dalam 10 - 15 menit.
Glukagon dapat diberikan pada kondisi hipoglikemi akut karena pemberian insulin. Namun pemberian ini tidak tepat untuk pemberian hipoglikemi kronik.
Glukagon  merupakan  hormon  polipeptida  yang  dihasilkan  oleh  sel  alfa
langerhans, yang bekerja meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dengan






memobilisasi cadangan glikogen di hati. Glukagon dapat diinjeksi secara IV, IM ataupun Subkutan, dalam dosis 1 mg (1 unit) jika injeksi intravena tidak dapat atau sulit diberikan. Jika pemberian glukagon tidak efektif dalam 10 menit pemberian glukosa  intravena dapat dilakukan.

e)     Calsium  (Ca++)
Nilai normal :   8,8 - 10,4  mg/dL   SI unit  : 2,2 - 2,6 mmol/L

Deskripsi:
Kation kalsium terlibat dalam kontraksi otot, fungsi jantung, transmisi impuls saraf dan pembekuan darah. Lebih kurang 98-99% dari kalsium dalam tubuh terdapat dalam rangka dan gigi. Sejumlah 50% dari kalsium dalam darah terdapat dalam bentuk ion bebas dan sisanya terikat dengan protein. Hanya kalsium dalam bentuk ion bebas yang dapat digunakan dalam proses fungsional. Penurunan konsentrasi serum albumin 1 g/dL menurunkan konsentrasi total serum kalsium lebih kurang 0,8 mEq/dL.

Implikasi klinik:
•      Hiperkalsemia terutama terjadi akibat hiperparatiroidisme atau neoplasma
(kanker). Penyebab lain meliputi paratiroid adenoma atau hiperplasia (terkait dengan hipofosfatemia), penyakit hodgkin, multiple mieloma, leukemia, penyakit addison, penyakit paget, respiratori asidosis, metastase tulang, imobilisasi dan terapi dengan diuretik tiazid.
•      Hipokalsemia   dapat   diakibatkan   oleh   hiperfosfatemia,   alkalosis,
osteomalasia, penggantian kalsium yang tidak mencukupi, penggunaan laksatif,  furosemide,  dan  pemberian  kalsitonin.  Pseudohipokalsemia kadang-kadang ditemukan bila konsentrasi albumin rendah karena adanya gabungan kalsium dengan albumin.
•      Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kalsium :
-    Hormon paratiroid bekerja pada tulang untuk melepaskan kalsium
        
ke  dalam  darah,  meningkatkan  absorpsi  kalsium  di  usus  dan
        
meningkatkan reabsorbsi kalsium di ginjal.
-    Vitamin D menstimulasi absorpsi kalsium di usus.
-    Estrogen meningkatkan simpanan kalsium dalam tulang
-    Androgen,   glukokortikoid   dan   kelebihan   hormon   tiroid   dapat
        
menyebabkan hipokalsemia dan kekurangan kalsium dalam tulang.







Jika  diperlukan  kadar  kalsium  terion,  pH  darah  haruslah  diukur  secara bersamaan.

Faktor pengganggu
       Diuretik tiazid dapat mengganggu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan
hiperkalsemia
•       Bagi pasien dengan insufisiensi ginjal menjalani dialisis, resin penukar
ion kalsium terkadang digunakan untuk hiperkalemia.  Resin ini dapat meningkatkan kadar kalsium
•       Peningkatan uptake magnesium dan fosfat dan penggunaan laksatif
berlebih dapat menurunkan kadar kalsium karena peningkatan kehilangan kalsium di usus halus
•       Jika kadar kalisum menurun akibat defisiensi magnesia (seperti pada
absorbsi  usus  besar  yang  tidak  baik),  pemberian  magnesium  akan memperbaiki defisiensi kalsium
•       Jika seorang pasien diketahui memiliki atau diduga memiliki abnormalitas
pH, pemeriksaan pH dengan kadar kalsium dilakukan secara bersamaan
•       Banyak obat menyebabkan peningkatan atau penurunan kadar kalsium.
Suplemen  kalsium  yang  dikonsumsi  segera  sebelum  pengumpulan spesimen  akan menyebabkan nilai kalsium tinggi yang false.
       Peningkatan kadar protein serum meningkatkan kalsium; penurunan
protein menurunkan kalsium.

Hal yang harus diwaspadai:
1.     Nilai kritis total kalsium:
2.     < 6 mg/dL (1,5 mmol/L) dapat menyebabkan tetanus dan kejang
3.     13 mg/dL (3,25 mmol/L) dapat menyebabkan kardiotoksisitas, aritmia, dan
koma)
4.     Terapi cepat pada hiperkalsemia adalah kalsitonin

Tatalaksana Hiperkalsemia
Hiperkalsemia parah (>3.5 mmol/L)
       Salin iv untuk mengembalikan GFR dan meningkatkan diuresis kombinasi
dengan furosemida untuk meningkatkan ekskresi kalsium ginjal
       Pamidronat IV 30 - 50 mg (mengganggu aktifitas osteoklas)








Pilihan lain
      Fosfat IV atau oral
      Kalsitonin, kortikosteroid

Tatalaksana Hipokalsemia
Akut parah
Kalsium glukonat 10% 10 mL IV diberikan secara perlahan dengan monitoring EKG
Terapi IV lebih lanjut jika diperlukan melalui infus perlahan, jika terapi oral tidak sesuai
Perbaiki hipomagnesia jika terjadi

Terapi kronik
      Vitamin D analog (dengan atau suplemen kalsium tergantung pada asupan
harian)
o    Ergokalsiferol 50.000 - 100.000 UI per hari
o    Kalsiferol           0,5 - 2 μg per hari

Profilaksis
      Vitamin D analog (dengan atau tanpa suplemen kalsium tergantung pada
asupan harian)
o    Ergokalsiferol 1000 UI per hari

Tatalaksana Hipofosfatemia
1.      Parah (fosfat < 0,3 mmol/L) atau hipofosfatemia simptomatik:
o    Dosis fosfat 0,15 - 0,33 mmol/kg/dosis melalui infus lebih dari 6 jam
diberikan sebagai berikut:
-      Kalium fosfat : 4,4 mmol K+/mL dan 3,0 mmol PO43-/mL
-      Natrium fosfat : 4,0 mmol Na+/mL dan 3.0 mmol PO43-/mL
2.     Pemeliharaan 0,1 - 0,2 mmol/kg/hari
3.     Efek samping pemberian fosfat adalah hipokalsemia (khususnya jika
diberikan infus lebih dari      6 jam), kalsifikasi matastatik, hipotensi dan
hiperkalemia atau hipernatremia (tergantung sediaan yang digunakan).








f)     Fosfor anorganik  (PO4)
Nilai normal : Pria;   0-5 tahun : 4-7  mg/dL            SI unit:1,29-2,25 mmol/L
6-13 tahun: 4-5,6  mg/dL        SI unit : 1,29-1,80 mmol/L
14-16 tahun:3,4-5,5 mg/dL    SI unit 1,09-1,78 mmol/L
17-19 tahun: 3-5  mg/dL         SI unit: 0,97-1,61 mmol/L
≥20 tahun: 2,6-4,6 mg/dL        SI unit: 0,89-1,48 mmol/L
wanita; 0-5 tahun: 4-7  mg/dL            SI unit :1,29-2,25 mmol/L
6-10 tahun: 4,2-5,8 mg/dL     SI unit: 1,35-1,87 mmol/L
11-13 tahun: 3,6-5,6 mg/dL   SI unit : 1,16-1,8 mmol/L
14-16 tahun: 3,2-5,6 mg/dL   SI unit : 1,03-1,8 mmol/L 
≥17 tahun: 2,6-4,6 mg/dL SI unit: 0,84-1,48 mmol/L

Deskripsi:
Fosfat dibutuhkan untuk pembentukan jaringan tulang, metabolisme glukosa
dan  lemak,  pemeliharaan  keseimbangan  asam-basa  serta  penyimpanan
dan transfer energi dalam tubuh. Sekitar 85% total fosfor dalam tubuh terikat
dengan kalsium. Bila kadar fosfat diperiksa maka nilai serum kalsium juga harus diperiksa.

Implikasi klinik:
•       Hiperfosfatemia  dapat  terjadi  pada  gangguan  fungsi  ginjal,  uremia,
kelebihan  asupan  fosfat,  hipoparatiroidisme,  hipokalsemia,  kelebihan asupan vitamin D, tumor tulang, respiratori asidosis, asidosis laktat dan terapi bifosfonat.
•       Hipofosfatemia dapat terjadi pada  hiperparatiroidisme, rickets, koma
diabetik, hyperinsulinisme, pemberian glukosa iv secara terus menerus pada nondiabetik, antasida, tahap-tahap diuretik pada luka bakar parah dan respiratori alkalosis.

Faktor pengganggu
       Kadar fosfor normal lebih tinggi pada anak-anak
       Kadar  fosfor  dapat  meningkat  secara  false  akibat  hemolisis  darah;
karenanya pisahkan serum dari sel sesegera mungkin
       Obat dapat menjadi penyebab menurunnya fosfor








      Penggunaan laksatif atau enema yang mengandung natrium fosfat dalam
jumlah besar akan meningkatkan fosfor sebesar 5 mg/dL setelah 2 hingga
3 jam.  Peningkatan tersebut hanya sementara (5-6 jam) tetapi faktor ini harus dipertimbangkan jika dijumpai abnormalitas kadar.

Tatalaksana Hiperfosfatemia
1.      Terapi hiperfosfatemia sebaiknya langsung pada penyebab masalah:
o    Pada gagal ginjal pembatasan makanan bermanfaat dan penggunaan
        bahan yang mengikat fosfat (kalsium atau aluminium)
o    Hemodialisis digunakan untuk mengurangi kadar fosfat pada pasien
        
yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir
2.     Terapi hiperfosfatemia yang mengancam jiwa:
o    Pemberian cairan IV untuk meningkatkan ekskresi
o    Kalsium IV
o    dialisis

g)     Asam Urat
Nilai normal :  Pria    ; ≥ 15tahun:3,6-8,5mg/dL        SI unit :214-506 μmol/L
Wanita;> 18 tahun: 2,3 - 6,6 mg/dL SI unit : 137 - 393 μmol/L

Deskripsi:
asam urat terbentuk dari penguraian asam nukleat. Konsentrasi urat dalam serum meningkat bila terdapat kelebihan produksi atau destruksi sel (contoh
: psoriasis, leukemia) atau ketidakmampuan mengekskresi urat melalui ginjal.

Implikasi klinik:
      Hiperurisemia dapat terjadi pada leukemia, limfoma, syok, kemoterapi,
metabolit asidosis dan kegagalan fungsi ginjal yang signifikan akibat
penurunan ekskresi atau peningkatan produksi asam urat.
      Nilai asam urat di bawah nilai normal tidak bermakna secara klinik.
      Obat yang dapat meningkatkan kadar urat darah meliputi: tiazid, salisilat
(< 2 g/hari), etambutol, niasin dan siklosporin.
      Obat yang dapat menurunkan kadar urat darah meliputi: allopurinol,
probenesid, sulfinpirazon dan salisilat    (> 3 g/hari).







Perawatan pasien
Interpretasikan hasil pemeriksaan dan monitor fungsi ginjal, tanda gout atau
gejala leukemia.  Kadar asam urat seharusnya turun pada pasien yang diterapi dengan obat yang bersifat uricosuric seperti allopurinol, probenesid, dan sulfinpirazon.

h)    Magnesium  (Mg2+)
Nilai normal: 1,7 - 2,3  mg/dL          SI unit  : 0,85 - 1,15  mmol/L

Deskripsi:
Magnesium dibutuhkan bagi ATP sebagai sumber energi. Magnesium juga berperan dalam metabolisme karbohidrat, sintesa protein, sintesa asam nukleat,
dan kontraksi otot. Defisiensi magnesium dalam diet normal jarang terjadi, tetapi 
diet fosfat yang tinggi dapat menurunkan absorpsi magnesium. Magnesium
juga mengatur iritabilitas neuromuskular, mekanisme penggumpalan darah 
dan absorbsi kalsium.

Implikasi klinik:
•       Hipermagnesemia dapat terjadi pada gagal ginjal, diabetik asidosis,
pemberian dosis magnesium (antasida) yang besar, insufisiensi ginjal, hipotiroidisme dan dehidrasi.
•       Hipomagnesemia   dapat   terjadi   pada   diare,   hemodialisis,   sindrom
malabsorbsi obat (kondisi tersebut mengganggu absorbsi tiazid, amfoterisin B, cisplatin), laktasi, pankreatitis akut, menyusui, alkoholik kronik
•       Defisiensi magnesium dapat menyebabkan hipokalemia yang tidak jelas
dan menyebabkan iritabilitas neuromuskular yang parah
•       Peningkatan  magnesium  dapat  memberikan  efek  sedatif,  menekan
aktivitas jantung dan neuromuskular
       Untuk mencegah aritmia, pemberian magnesium sulfat i.v tidak lebih dari
2 g/jam
       Hipomagnesia menyebabkan aritmia ventrikuler.

Faktor pengganggu
       Terapi salisilat, litium dan produk magnesium jangka panjang (misalnya:
antasida, laksatif) dapat menyebabkan peningkatan kadar magnesium
false, khususnya jika terjadi kerusakan ginjal







      Kalsium glukonat, seperti juga sejumlah obat lain, dapat mengganggu
metode pemeriksaan dan menyebabkan penurunan hasil.
•      Hemolisis akan memberikan hasil invalid, karena sekitar tiga per empat
magnesium dalam darah ditemukan pada intrasel darah merah

Pemantauan Terapi pasien
•      Interpretasi hasil pemeriksaan dan lakukan monitor yang sesuai.  Terapi
koma diabetik sering menurunkan kadar magnesium.  Perubahan ini terjadi karena magnesium berganti dengan kalium masuk ke dalam sel setelah pemberian insulin.
•      Lakukan   pengukuran   magnesium   pada   pasien   yang   menerima
aminoglikosida  dan  sikslosporin.    Terdapat  hubungan  antara  terapi tersebut dengan hipermagnesemia. Terapi hipermagnesemia dapat terjadi akibat kelebihan sumber magnesium, meningkatnya ekskresi, pemberian garam kalsium dan pelaksanaan hemodialisis.
•      Defisiensi magnesium dapat menyebabkan hipokalsemia dan hipokalemia.
Pasien dapat mengalami gejala neurologi dan/atau saluran cerna.  Amati tanda dan gejala berikut:
1)   Tremor otot,  tetani
2)   Hipokalsemia
3)   Refleks tendon yang dalam
4)   EKG:  perpanjangan  interval  P-R  dan  Q-T;  gelombang T  datar;
        
takikardia ventrikuler prematur dan fibrilasi
5)   Anoreksi, muntah, mual
6)   Insomnia dan kejang
•      Amati tanda terlalu banyak magnesium (yang bersifat sedatif)
1)   Letargi, kemerahan, mual, muntah, cadel
2)   Refleks tendon lemah atau tidak ada
3)   Perpanjangan interval PR dan QT; pelebaran QR; bradikardia
4)   Hipotensi, mengantuk, depresi nafas

Tatalaksana  Hipermagnesia
Terapi hipermagnesia tergantung pada derajat keparahan, dalam kasus yang ringan, sumber magnesium tetap memadai. Pilihan terapi berikut adalah:







       Cairan intravena (natrium klorida 0,9% atau ringer laktat IV 1L) plus
diuretik loop (furosemid 20 - 80 mg IV, dosis sebaiknya tidak lebih dari 6
mg/kg)
-    Cairan tersebut meningkatkan pengenceran magnesium ekstrasel
        
dan diuresis; sementara diurektik loop bekerja pada Loop of Henle
        untuk meningkatkan pembuangan magnesium
       Kalsium intravena (kalsium karbonat 10% 100 - 200 mg infus lambat, dosis
sebaiknya tidak lebih dari 2-4 mg/kg/jam)
-    Kalsium mengantagonis langsung efek magnesium pada jantung dan
        neuromuskuler
-    Memperbaiki kondisi pasien yang mengalami gejala parah seperti
        
antiaritmia atau depresi pernafasan
       Dialisis


2.3  Analisa gas darah (AGD)
Deskripsi:
Analisis dilakukan untuk evaluasi pertukaran oksigen dan karbon dioksida dan untuk mengetahui status asam basa. Pemeriksaan dapat dilakukan pada pembuluh arteri untuk melihat keadaan pH, pCO2, pO2, dan SaO2

Indikasi umum:
a)   Abnormalitas pertukaran gas
o    Penyakit paru akut dan kronis
o    Gagal nafas akut
o    Penyakit jantung
o    Pemeriksaan keadaan pulmoner (rest dan exercise)
o    Gangguan tidur
b)   Gangguan asam basa
o    Asidosis metabolik
o    Alkalosis metabolik











a)     Saturasi Oksigen (SaO2)
Nilai Normal: 95-99% O2

Deskripsi:
Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total oksigen yang terikat pada hemoglobin.

Implikasi Klinik:
•      Saturasi  oksigen  digunakan  untuk  mengevaluasi  kadar  oksigenasi
hemoglobin dan kecukupan oksigen pada jaringan
      Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah
oksigen yang terikat pada hemoglobin.

b)    Tekanan Parsial Oksigen (PaO2)
Nilai normal (suhu kamar, tergantung umur) : 75-100 mmHg    SI : 10-13,3 kPa

Deskripsi:
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah O2 yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah.

Implikasi Klinik:
•      Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK), penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau neuromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
      Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2
oleh alat bantu (contoh: nasal prongs, alat ventilasi mekanik), hiperventilasi,
dan polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen).

c)     Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2)
Nilai normal   : 35-45 mmHg                        SI : 4,7-6,0 kPa

Deskripsi:
PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam plasma. Dapat digunakan untuk menentukan efektifitas ventilasi alveolar dan keadaan asam-basa dalam darah.







Implikasi Klinik:
       Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/nervousness
dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian
khusus.
       Peningkatan  nilai  PaCO2  dapat  terjadi  pada  gangguan  paru  atau
penurunan fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2            > 60 mgHg perlu
mendapat perhatian.
       Umumnya, peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan
penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
       Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2
sebesar 1,3 mmHg.

d)   pH
Nilai normal   : 7,35-7,45
Nilai kritis:     < 7,25 atau >7,55

Deskripsi     :
serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti asam laktat dan asam keto)

Implikasi Klinik:
       Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan
pembentukan asam)
       Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan
asam)
       Bila melakukan evaluai nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui
juga untuk memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang
mempengaruhi status asam basa.

e)    Karbon Dioksida (CO2)
Nilai normal :   22 - 32  mEq/L         SI unit  : 22 - 32 mmol/L

Deskripsi:
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat
(HCO3-1), 5% sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat (H2CO3).







Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

Implikasi klinik:
      Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema,
dan aldosteronisme
      Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik
asidosis dan hiperventilasi
      Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin

f)     Anion Gap (AG)
Nilai normal   : 13-17 mEq/L

Deskripsi:
Anion gap digunakan untuk mendiagnosa asidosis metabolik. Perhitungan menggunakan elektrolit yang tersedia dapat membantu perhitungan kation dan anion yang tidak terukur. Kation dan anion yang tidak terukur termasuk Ca+ dan Mg2+, anion yang tidak terukur meliputi protein, fosfat sulfat dan asam organik. Anion gap dapat dihitung menggunakan dua pendekatan yang berbeda :
Na+ - (Cl- + HCO3) atau Na + K - (Cl + HCO3) = AG

Implikasi Klinik:
•      Nilai anion gap yang tinggi (dengan pH tinggi) menunjukkan  penciutan
volume ekstraseluler atau pada pemberian penisilin dosis besar.
•      Anion gap yang tinggi dengan pH rendah merupakan manifestasi dari
keadaan yang sering dinyatakan dengan singkatan "MULEPAK", yaitu: akibat asupan metanol, uremia, asidosis laktat, etilen glikol, paraldehid, intoksikasi aspirin dan ketoasidosis
•      Anion gap yang rendah dapat terjadi pada hipoalbuminemia, dilution,
hipernatremia, hiperkalsemia yang terlihat atau toksisitas litium
      Anion gap yang normal dapat terjadi pada metabolik asidosis akibat diare,
asidosis tubular ginjal atau hiperkalsemia.










g)   Sistem Buffer Bikarbonat
Nilai normal   : 21-28 mEq/L


Deskripsi:
Sistem buffer bikarbonat terdiri atas asam karbonat (H2CO3) dan bikarbonat
(HCO
3). Secara kuantitatif, sistem buffer ini merupakan sistem buffer utama
dalam cairan ektraseluler. Digambarkan dalam hubungan sebagai berikut :
Total CO2 mengandung : asam karbonat + bikarbonat

Implikasi Klinik:
       Peningkatan bikarbonat menunjukan asidosis respiratori akibat penurunan
ventilasi
•       Penurunan bikarbonat menunjukan adanya alkalosis respiratori (akibat
peningkatan ventilasi alveolar dan pelepasan CO2 dan air) atau adanya asidosis metabolik (akibat akumulasi asam tubuh atau hilangnya bikarbonat dari cairan ekstraseluler).


2.4  Urinalisis (UA)
Nilai normal:


Parameter                                            Nilai normal

1,001-1,035
Berat jenis spesifik                        Kekuning-kuningan, kuning
Deskripsi                                                    4,5-8,5
pH                        0-terlacak (Tr); < 50 mg/dL atau < 0,5 mg/L
Protein                                                     Negatif
Glukosa                                                    Negatif
Keton                                                      Negatif
Darah                           *RBC, WBC,sel epitel, bakteri, kristal
Sedimen urin*                                              Negatif
Pewarnaan Gram's


Deskripsi
UA dapat digunakan untuk evaluasi gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan hematologi, infeksi saluran kemih dan diabetes mellitus.







a)   Berat jenis spesifik (Specific gravity)
Urinalisis dapat dilakukan sewaktu atau pada pagi hari.  Pemeriksaan berat jenis urin dapat digunakan untuk mengevaluasi penyakit ginjal pasien.  Berat jenis normal adalah 1,001-1,030 dan menunjukkan kemampuan pemekatan yang baik, hal ini dipengaruhi oleh status hidrasi pasien dan konsentrasi urin. Berat jenis meningkat pada diabetes (glukosuria), proteinuria > 2g/24 jam), radio kontras, manitol, dekstran, diuretik.
Nilai  berat  jenis  menurun  dengan  meningkatnya  umur       (seiring  dengan
menurunnya kemampuan ginjal memekatkan urin) dan preginjal azotemia.

b)     Warna urin
Deskripsi
Warna urin dipengaruhi oleh konsentrasi, adanya obat, senyawa eksogen dan endogen, dan pH
•      Warna   merah   coklat   menunjukkan   urin   mengandung   hemoglobin,
myoglobin, pigmen empedu, darah atau pewarna. Dapat juga karena pemakaian klorpromazin, haloperidol, rifampisin, doksorubisin, fenitoin, ibuprofen.  Warna merah coklat dapat berarti urin bersifat asam (karena metronidazol) atau alkali (karena laksatif, metildopa)
•      Warna kuning merah (pink) menunjukkan adanya sayuran, bit, fenazopiridin
atau katartik fenolftalein, ibuprofen, fenitoin, klorokuin
      Warna   biru-hijau   menunjukkan   pasien   mengkonsumsi   bit,   bakteri
Pseudomonas, pigmen empedu, amitriptilin,
      Warna hitam menunjukkan adanya, alkaptouria
      Warna gelap menunjukkan porfiria, malignant melanoma (sangat jarang)
      Urin yang keruh merupakan tanda adanya urat, fosfat atau sel darah putih
(pyuria), polymorphonuclear (PMNs), bakteriuria, obat kontras radiografi.
      Urin yang berbusa mengandung protein atau asam empedu
      Kuning kecoklatan menunjukkan primakuin, sulfametoksazol, bilirubin,
urobilin
















WARNA                                              IMPLIKASI KLINIK
hemoglobin,    myoglobin, pigmen empedu, darah
Merah coklat         klorpromazin, haloperidol, rifampisin, doksorubisin,
fenitoin, ibuprofen,
urin bersifat asam (karena metronidazol) atau alkali
(karena laksatif, metildopa)

kuning merah        sayuran, bit, fenazopiridin atau katartik fenolftalein,
(merah muda)       ibuprofen, fenitoin, klorokuin

Biru-hijau           pasien mengkonsumsi bit, bakteri Pseudomonas,
pigmen empedu, amitriptilin,

Kuning              primakuin, sulfametoksazol, bilirubin, urobilin
kecoklatan
hitam               Alkaptonuria
Gelap               porfiria, malignant melanoma (sangat jarang)

Keruh               urat, fosfat atau sel darah putih (pyuria),
polymorphonuclear (PMNs), bakteriuria, obat kontras radiografi.
Berbusa             protein atau asam empedu


c)   pH urin (normal 5,0-7,5)
        Deskripsi
Dipengaruhi oleh diet dan vegetarian dimana asupan asam sangat rendah sehingga membuat urin menjadi alkali. pH urin mempengaruhi terbentuknya Kristal. Misalnya pada pH urin asam dan peningkatan specific gravity akan mempermudah terbentuknya kristal asam urat .

PH alkalin disebabkan:
o    adanya organisme pengurai yang memproduksi protease seperti proteus,
        
Klebsiella atau E. coli
o    ginjal tubular asidosis akibat terapi amfoterisin
o    Penyakit ginjal kronik
o    Intoksikasi salisilat








pH asam disebabkan karena :
o    emfisema pulmonal
o    diare, dehidrasi
o    kelaparan (starvation)
o    asidosis diabetik

d)   Protein
Jumlah protein dapat dilacak pada pasien yang berdiri dalam periode waktu yang panjang. Protein urin dihitung dari urin yang dikumpulkan selama 24 jam. Proteinuria (dengan metode dipstick) : +1 = 100 mg/dL, +2 = 300 mg/dL, +4 = 1000 mg/dL.  Dikatakan proteinuria bila lebih dari 300 mg/hari. Hasil positif palsu dapat terjadi pada pemakaian obat berikut:
      penisilin dosis tinggi,
      klorpromazin,
      tolbutamid
      golongan sulfa
Dapat memberikan hasil positif palsu bagi pasien dengan urin alkali. Protein dalam urin dapat: (i) normal, menunjukkan peningkatan permeabilitas glomerular atau gangguan tubular ginjal, atau (ii) abnormal, disebabkan multiple mieloma dan protein Bence-Jones.

e)   Glukosa
Korelasi antara urin glukosa dengan glukosa serum berguna dalam memonitor dan penyesuaian terapi antidiabetik.

f)     Keton
Dapat ditemukan pada urin malnutrisi, pasien DM yang tidak terkontrol, dan
pecandu alkohol. Terjadi pada :
      gangguan kondisi metabolik seperti: diabetes mellitus, ginjal
      glikosuria,
      peningkatan kondisi metabolik seperti: hipertiroidism, demam, kehamilan
dan menyusui
      malnutrisi, diet kaya lemak





g)   Sedimen
        
Deskripsi :
Tes ini memberikan gambaran adanya infeksi saluran kemih, batu ginjal atau
saluran kemih, nefritis, keganasan atau penyakit hati. Tidak ada tipe urin cast tertentu yang patognomonik bagi gangguan penyakit ginjal yang khusus, walaupun terdapat cast sel darah cast sel darah putih. Sedimen urin dapat normal pada kondisi preginjal atau postginjal dengan minimal atau tanpa proteinuria.

Sedimen urin                            Nilai normal
Cell cast                                     Negatif
White cell cast                                 0-5/hpf
RBC                                         0-3/hpf
Epitel                                        0-2/hpf
Bakteri                          < 2/hpf atau 1000/mL
Kristal                                        Negatif

Implikasi klinik :
Cell cast : Menunjukkan acute tubular necrosis.
White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial nephritis
Red cell cast timbul pada glomerulonefritis akut
RBC : Peningkatan nilai menunjukkan glomerulonefritis, vaskulitis, obstruksi ginjal atau penyakit mikroemboli, atau proteinuria
WBC : peningkatan nilai menunjukkan penyakit ginjal dengan inflamasi
Bakteri : jumlah bakteri > 105/mL menunjukkan adanya infeksi saluran kemih. Kristal : meliputi kristal kalsium oksalat, asam urat, amorf, triple fosfat. Adanya kristal menunjukkan peningkatan asam urat dan asam amino


3.  Pemeriksaan Faal Ginjal
Fungsi pemeriksaan faal ginjal adalah:
i)      untuk mengidentifikasi adanya gangguan fungsi ginjal
ii)     untuk mendiagnosa penyakit ginjal
iii)    untuk memantau perkembangan penyakit






iv)   untuk memantau respon terapi
v)   untuk mengetahui pengaruh obat terhadap fungsi ginjal

a)   Kreatinin
Nilai normal  0,6 - 1,3 mg/dL  SI : 62-115 μmol/L

Deskripsi :
Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin dihasilkan selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal.
Serum kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati glomerular filtration rate (GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama masa otot konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.

Implikasi klinik :
•      Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik
karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
      Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi, malnutrisi
atau penurunan masa otot akibat penuaan.
•      Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa dapat
mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium walaupun tidak berarti ada gangguan fungsi ginjal.
•      Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi ginjal
pada pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
      Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu
diperlukan waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar
normal  untuk mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang signifikan.








       Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 %
hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
       Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan masa
otot.

Faktor pengganggu
       Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang merusak otot
rangka dapat meningkatkan kadar kreatinin
       Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
       Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih besar
       Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar kreatinin
       Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
       Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
       Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
       Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim, simetidin,
ACEI/ARB

b)    Kreatinin Urin (Clcr) J Creatinine clearance
Nilai normal :            Pria                  : 1 - 2 g/24 jam
Wanita             : 0,8 - 1,8 g/24 jam

Deskripsi:
Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi kreatin otot dan merupakan produk sisa kreatin. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan tidak direabsorbsi oleh tubulus pada kondisi normal. Kreatinin serum dan klirens kreatinin memberikan gambaran filtrasi glomerulus.

Implikasi klinik:
Pengukuran kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam, namun hal itu sulit dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan volume urin dan durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai perkiraan kerja fungsi ginjal yang sebenarnya.











Kategori kerusakan ginjal berdasarkan kreatinin serum dan klirens


Derajat                 Klirens Kreatinin          Serum Kreatinin
kegagalan ginjal                (mL/menit)                        (mg/dL)



Normal



> 80                                   1,4


Ringan                            57 - 79                            1,5 - 1,9


Moderat                           10 - 49                            2,0 - 6,4


Berat                                 < 10                                 > 6,4


Anuria                                  0                                    > 12






Perhitungan Klirens Kreatinin dari Konsentrasi Kreatinin Serum
1)   Menurut Traub SL dan Johnson CE, untuk anak 1 - 18 tahun
Clcr=[0,48×(tinggi)]/Scr
Keterangan; Clcr     =  kreatinin klirens dalam mL/min/1,73 m2
Scr      =  serum kreatinin dalam mg/dL
2)   Metode Jelliffe, memperhitungkan umur pasien, pada umumnya dapat dipakai
        
untuk pasien dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin
        
tua pasien makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang
        
sama.
Pria     :  Clcr=[98-0,8x(umur-20)]/Scr
Wanita:  Hendaknya menggunakan 90% dari Clcr yang diperoleh pada pria
               
atau hasil dari pria x 0,90
3)   Metode Cockroff dan Gault juga digunakan untuk memperkirakan klirens
        
kreatinin dari konsentrasi kreatinin serum pasien dewasa. Metode ini melibatkan
        
umur dan berat badan pasien.
o    Pria : Clcr={[140-umur(tahun)]×berat badan (kg)}/[72×Scr(mg/dL)]
o    Wanita : Untuk pasien wanita menggunakan 85 % dari harga Clcr yang
        
diperoleh pada pria atau hasil dari pria x 0,85


Obat-obat yang bersifat nefrotoksik :
      Analgesik: naproksen, salisilat, fenoprofen, ibuprofen
      Anestesi: ketamin
      Antibiotik: kolistin, oksasilin, tetrasiklin, aminoglikosida, vankomisin, eritromisin,
rifampisin, sulfonamid
      Antiretroviral, asiklovir
      Preparat besi
      Diuretik: furosemid, tiazid, manitol
      Koloid: dextran
      Sitostatika: siklofosfamid, cisplatin
      Antijamur: amfoterisin
      Imunosupresan: siklosporin, takrolimus
      Antitrombotik: klopidogrel, ticlid
      Antidislipidemia: statin
      Golongan bifosfonat
      Antidepresan: amitriptilin
      Antihistamin
      Allopurinol
      Antikonvulsi: fenitoin, asam valproat
      Ulcer healing drugs: H2-blocker, penghambat pompa proton

a.   Klirens kreatinin (Clcr)


Umur                    Pria (mL/menit)            Wanita (mL/menit)
40-60                                 40-60
0-6 bulan
7-12 bulan                          50-75                                 50-75
13 bulan- 4 tahun                  60-100                               60-100
5-8 tahun                          65-110                               65-110
9-12 tahun                         70-120                               70-120
13 tahun keatas                    80-130                               75-120


Tingkat kerusakan ginjal parah < 10 mL/menit, sedang 10-30 mL/menit, ringan 30-70 /menit


Deskripsi:
Klirens kreatinin adalah pengukuran kecepatan tubuh (oleh ginjal) membersihkan kreatinin, terutama pengukuran kecepatan filtrasi glomerolus (GFR).

Implikasi Klinik:
       Hasil penilaian dengan mengukur klirens kreatinin memberikan hasil yang lebih
akurat.
       Pada anak-anak, nilai klirens kreatinin akan lebih rendah (kemungkinan akibat
masa otot yang lebih kecil)

Obat-obat yang perlu dimonitor pada pasien dengan ganguan fungsi ginjal
       Golongan aminoglikosida
       Obat dengan indeks terapi sempit


2.6  Pemeriksaan Gastrointesinal
a)   Serum amilase
Nilai normal      :  20 - 123 U/L                    SI = 0,33 - 2,05 μkat/L

Deskripsi:
Amilase adalah enzim yang mengubah amilum menjadi gula, dihasilkan oleh kelenjar saliva, pankreas, hati dan tuba falopi. Banyak amilase memasuki sirkulasi darah saat terjadi peradangan pankreas atau kelenjar saliva.

Implikasi klinik:
•      Peningkatan kadar amilase dapat terjadi pada pankreatitis akut,  kanker
paru-paru,  kanker  esophagus,  kanker  ovarium,  gastrektomi  parsial, obstruksi saluran pankreas, ulkus peptikum, penyakit gondok, obstruksi
atau inflamasi saluran atau kelenjar saliva, kolesistitis akut, trauma serebral, luka bakar, syok trauma, diabetes ketoasidosis dan aneurism. 
      Penurunan kadar amilase dapat terjadi pada pankreatitis akut yang sudah
pulih, hepatitis, sirosis hati, atau keracunan kehamilan.

Faktor pengganggu
      Antikoagulan dapat menurunkan hasil amilase
      Serum lipemik mengganggu pemeriksaan

       Peningkatan kadar ditemukan pada alkoholik, wanita hamil dan diabetik
ketoasidosis
       Banyak obat mengganggu hasil pemeriksaan, misalnya: kortikosteroid, pil
KB, aspirin, diuretik.

b)   Lipase
Nilai normal         :    10 - 140 U/L               SI = 0,17 - 2,3 μkat/L

Deskripsi:
Lipase  mengubah  asam  lemak  menjadi  gliserol.  Sumber  utama  adalah
pankreas, lipase dalam pembuluh darah menyebabkan kerusakan pankreas. 

Implikasi klinik:
•       Peningkatan kadar lipase dapat terjadi pada pankreatitis, obstruksi saluran
pankreas, kolestatis akut, sirosis, penyakit ginjal yang parah dan penyakit radang usus, sirosis, gangguan ginjal yang parah.
       Pada pankreatitis, serum lipase akan meningkat, peningkatan terjadi
setelah 36 jam dari onset
       Lipase dapat meningkat ketika kadar amilase dalam keadaan normal
       Lipase bertahan lebih lama dalam serum dibandingkan amilase pada
pasien pankreatitis.
       Nilai kritis lebih dari 500 U/L

Faktor penganggu
       Antikoagulan EDTA menganggu tes
       Lipase meningkatkan sekitar 50% pasien yang mengalami gagal ginjal
kronik
•       Lipase meningkat pada pasien yang mengalami hemodialisis


4.  Pemeriksaan fungsi hati
Tes fungsi hati adalah tes yang menggambarkan kemampuan hati untuk mensintesa protein (albumin, globulin, faktor koagulasi) dan memetabolisme zat yang terdapat di dalam darah.

a)   Albumin
Nilai Normal : 3,5 - 5,0 g% SI: 35-50g/L

Deskripsi:
Albumin di sintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa komponen darah, seperti: ion, bilirubin, hormon, enzim, obat.

Implikasi Klinis:
      Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi
      Nilai menurun pada keadaan: malnutrisi, sindroma absorpsi, hipertiroid,
kehamilan, gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka bakar, edema, asites, sirosis, nefrotik sindrom, SIADH, dan perdarahan.
b)   Prothrombin Time Jlihat bagian 3.1.g Waktu protrombin
        Deskripsi :
untuk mengetahui kemampuan hati dalam mensintesa faktor-faktor koagulasi (faktor I, II, V, VII, IX, X) kecuali faktor VIII.

c)     Alanin Aminotransferase (ALT) dahulu SGPT
Nilai normal     : 5-35 U/L

Deskripsi:
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat pada jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati dibandingkan jaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan fungsi hati daripada AST. ALT berguna untuk diagnosa penyakit hati dan memantau lamanya pengobatan penyakit hepatik, sirosis postneurotik dan efek hepatotoksik obat.

Implikasi klinik:
      Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit hepatoseluler, sirosis
aktif, obstruksi bilier dan hepatitis.
      Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.
      Nilai peningkatan yang signifikan adalah dua kali lipat dari nilai normal.
      Nilai juga meningkat pada keadaan: obesitas, preeklamsi berat, acute
lymphoblastic leukemia (ALL)






d)    Aspartat Aminotransferase (AST) dahulu SGOT
Nilai normal       :   5 - 35 U/L

Deskripsi:
AST adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada
jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi.

Implikasi klinik:
•       Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati, pankreatitis
akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut, luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral
       Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan diabetes
mellitus.
       Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase :
-    Asetominofen
-    Co-amoksiklav
-    HMGCoA reductase inhibitors
-    INH
-    Antiinflamasi nonsteroid
-    Fenitoin
-    Valproat

e)    Gamma Glutamil transferase (GGT)
Nilai normal :
Laki-laki  ≤94 U/L                 SI : ≤1,5 μkat/L
Perempuan ≤70 U/L              SI: <1,12 μkat/L

Deskripsi:
GGT terutama terdapat pada hati, ginjal; terdapat dalam jumlah yang lebih rendah pada prostat, limfa, dan jantung. Hati dianggap sebagai sumber enzim GGT meskipun kenyataannya kadar enzim tertinggi terdapat di ginjal. 







Enzim ini merupakan marker (penanda) spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu
Enzim ini berfungsi dalam transfer asam amino dan peptida. Laki-laki memiliki kadar yang lebih tinggi daripada perempuan karena juga ditemukan pada prostat. Monitoring GGT berguna untuk mendeteksi pecandu alkohol akut atau kronik, obstruksi jaundice, kolangitis dan kolesistitis.

Implikasi klinik:
•      Peningkatan kadar GGT dapat terjadi pada kolesistitis, koletiasis, sirosis,
pankreatitis, atresia billier,  obstruksi bilier, penyakit ginjal kronis, diabetes mellitus, pengggunaan barbiturat, obat-obat hepatotoksik (khususnya yang menginduksi sistem P450). GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi kerusakan hati.
      Obat-obat yang menyebabkan peningkatan GGT antara lain karbamazepin,
barbiturat, fenitoin, serta obat yang menginduksi sistem sitokrom P450

f)     Alkalin Fosfatase (ALP)
Nilai normal         :  30 - 130 U/L
Deskripsi:
Enzim ini  berasal terutama dari tulang, hati dan plasenta. Konsentrasi tinggi
dapat ditemukan dalam kanakuli bilier, ginjal dan usus halus. Pelepasan enzim ini seperti juga indeks penyakit tulang, terkait dengan produksi sel tulang dan deposisi kalsium pada tulang. Pada penyakit hati kadar alkalin fosfatase darah
akan meningkat karena  ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.

Implikasi Klinik:
•      Peningkatan ALP terjadi karena faktor hati atau non-hati. Peningkatan
ALP karena faktor hati terjadi pada kondisi : obstruksi saluran empedu, kolangitis, sirosis, hepatitis metastase, hepatitis, kolestasis, infiltrating hati disease
•      Peningkatan ALP karena faktor non-hati terjadi pada kondisi : penyakit
tulang, kehamilan, penyakit ginjal kronik, limfoma, beberapa malignancy, penyakit inflamasi/infeksi, pertumbuhan tulang, penyakit jantung kongestif
      Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada obstruksi jaundice, lesi hati,
sirosis hepatik, penyakit paget, penyakit metastase tulang, osteomalasis,
hiperparatiroidisme, infus nutrisi parenteral dan hiperfosfatemia.







       Penurunan kadar ALT dapat terjadi pada hipofosfatemia, malnutrisi dan
hipotiroidisme.
       Setelah pemberian albumin IV, seringkali terjadi peningkatan dalam jumlah
sedang alkalin fosfatase yang dapat berlangsung selama beberapa hari.

g)   Bilirubin
Nilai normal            :   Total ≤ 1,4 mg/dL                              SI = <24  Î¼mmol/L
Langsung ≤ 0,40 mg/dL                       SI = <7 μmmol/L

Deskripsi:
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan produk antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati dan diekskresi ke dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan dalam serum. Peningkatan bilirubin terjadi jika terdapat pemecahan sel darah merah berlebihan atau jika hati tidak dapat mensekresikan bilirubin yang dihasilkan.
Terdapat dua bentuk bilirubin:
a)   tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b)   langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi lebih sering terjadi akibat peningkatan pemecahan eritrosit, sedangkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi lebih cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi hati.

Implikasi klinik:
•       Peningkatan  bilirubin  yang  disertai  penyakit  hati  dapat  terjadi  pada
gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi saluran empedu atau hemolisis sel darah merah.
•       Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada anemia
hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma dan infark pulmonal.
       Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan penurunan
fungsi hati hingga 50%
       Peningkatan  kadar  bilirubin  terkonjugasi  dapat  terjadi  pada  kanker
pankreas dan kolelitiasis
       Peningkatan kadar keduanya dapat terjadi pada metastase hepatik,
hepatitis, sirosis dan kolestasis akibat obat - obatan.







      Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan bilirubin.
      Obat-obat  yang  dapat  meningkatkan  bilirubin:  obat  yang  bersifat
hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria (primakuin, sulfa, streptomisin,
rifampisin, teofilin, asam askorbat, epinefrin, dekstran, metildopa)
      Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP :
Allopurinol,   karbamazepin,   kaptopril,   klorpropamid,   siproheptadin,
diltiazem, eritromisin, co-amoxiclav, estrogen, nevirapin, quinidin, TMP-
SMZ

h)    Laktat dihidrogenase (dahulu LDH)
Nilai normal   :   90-210 U/L                        SI : 1,5-3,5 μkat/L

Deskripsi:
LD merupakan  enzim intraseluler, LD terdistribusi secara luas dalam jaringan, terutama hati, ginjal, jantung, paru-paru, otot rangka. Enzim glikolitik ini mengkatalisasi perubahan laktat dan piruvat. LD bersifat non spesifik, tetapi
membantu  menegakkan  diagnosis  infark  miokard  atau  infark  pulmonal bersamaan  dengan  data  klinik  lain.  LD  juga  sangat  bermanfaat  dalam mendiagnosa distropi otot atau anemia pernisiosa. Penentuan yang lebih spesifik dapat dilakukan jika LD telah terurai menjadi isoenzim. Oleh karena itu isoenzim spesifik diperlukan untuk mendeteksi infark miokard.

Implikasi klinik:
      Pada MI akut, LD meningkat dengan perbandingan LD1 : LD2 > 1, kadar
meningkat dalam 12-24 jam infark dan puncaknya terjadi 3-4 hari setelah
infark miokard.
      Pada infark pulmonal, LD meningkat dalam 24 jam setelah onset nyeri.
      Peningkatan kadar LD dapat terjadi pada infark miokard akut, leukemia
akut, nekrosis otot rangka, infark pulmonal, kelainan kulit, syok, anemia
megalobastik dan limfoma. Penggunaan bermacam obat-obatan dan
status penyakit juga dapat meningkatkan kadar LD.
      Penurunan kadar LD menggambarkan respon yang baik terhadap terapi
kanker.












5.  Pemeriksaan lemak
a)   LDL (low density lipoprotein)
Nilai normal  : <130 mg/dL  SI: < 3,36 mmol/L
Nilai batas : 130 - 159 mg/dL  SI:  3,36 - 4,11 mmol/L Risiko tinggi: ≥160 mg/dL     SI: ≥ 4,13 mmol/L
Deskripsi    LDL adalah B kolesterol

Implikasi klinik    :
       Nilai LDL tinggi dapat terjadi pada penyakit pembuluh darah koroner atau
hiperlipidemia bawaan. Peninggian kadar dapat terjadi pada sampel yang diambil segera. Hal serupa terjadi pula pada hiperlipoproteinemia tipe Ha dan Hb, DM, hipotiroidism, sakit kuning yang parah, sindrom nefrotik, hiperlipidemia bawaan dan idiopatik serta penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen.
       Penurunan LDL dapat terjadi pada pasien dengan hipoproteinemia atau
alfa-beta-lipoproteinemia.

b)   HDL (High density lipoprotein)
Nilai normal      :   Dewasa: 30 - 70 mg/dL SI = 0,78 - 1,81 mmol/L
Deskripsi:
HDL merupakan produk sintetis oleh hati dan saluran cerna serta katabolisme trigliserida
Implikasi klinik:
       Terdapat hubungan antara HDL - kolesterol dan penyakit arteri koroner
       Peningkatan HDL dapat terjadi pada alkoholisme, sirosis bilier primer,
tercemar racun industri atau poliklorin hidrokarbon. Peningkatan kadar
HDL juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan klofibrat, estrogen,
asam nikotinat, kontrasepsi oral dan fenitoin.
       Penurunan HDL terjadi dapat terjadi pada kasus fibrosis sistik, sirosis
hati, DM, sindrom nefrotik, malaria dan beberapa infeksi akut. Penurunan
HDL  juga  dapat  terjadi  pada  pasien  yang  menggunakan  probucol,
hidroklortiazid, progestin dan infus nutrisi parenteral.










a.   Trigliserida
Nilai normal :   Dewasa yang diharapkan
Pria      : 40 - 160 mg/dL          SI:  0,45 - 1,80 mmol/L
Wanita : 35 - 135 mg/dL         SI:  0,4 - 1,53  mmol/L
Deskripsi     :
Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam bentuk kilomikron dan VLDL
(very low density lipoproteins)
Implikasi klinik   :
      Trigliserida meningkat dapat terjadi pada pasien yang mengidap sirosis
alkoholik, alkoholisme, anoreksia nervosa, sirosis bilier, obstruksi bilier,
trombosis cerebral, gagal ginjal kronis, DM, Sindrom Down’s, hipertensi,
hiperkalsemia, idiopatik, hiperlipoproteinemia (tipe I, II, III, IV, dan V),
penyakit penimbunan glikogen (tipe I, III, VI), gout, penyakit iskemia hati hipotiroidism, kehamilan, porfiria akut yang sering kambuh, sindrom sesak nafas, talasemia mayor, hepatitis viral dan sindrom Werner,s
•      Kolestiramin, kortikosteroid, estrogen, etanol, diet karbohidrat, mikonazol
i.v, kontrasepsi oral dan spironolakton dapat meningkatkan trigliserida.
•      Penurunan   trigliserida   dapat   terjadi   pada   obstruksi   paru   kronis,
hiperparatiroidism, hipolipoproteinemia, limfa ansietas, penyakit parenkim hati, malabsorbsi dan malnutrisi.
      Vitamin C, asparagin, klofibrat dan heparin dapat menurunkan konsentrasi
serum trigliserida.


6.  Imunologi  & Serologi
a)   Tes Human Immunodeficiency Virus (HIV)
        
Deskripsi  :
HIV adalah retrovirus (virus RNA), yang menyerang sel sistem imun terutama CD4+ limfosit T, yang melemahkan pertahanan host,  menyebabkan  infeksi
oportunistik dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pada hampir
semua kasus.
Beberapa  tes  digunakan  untuk  menentukan  pasien  yang  kemungkinan terinfeksi  HIV, yaitu: antibodi HIV, tes Western Blot, tes antigen HIV, HIV RNA, CD4+, beban virus.
Sebagian besar pasien dengan AIDS anergik, dengan anemia sedang (Hb 7-12 g/dL), trombositopenia sedang, leukopenia sedang (1000-3000 /mm3) dan limfosit< 1200 / mm3.







b)    Tes Antibodi HIV (penapisan HIV), dengan metoda: Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (Elisa) atau Enzyme Immunoassay (EIA)
Deskripsi  :
Tes penapisan antibodi terhadap virus penyebab AIDS, HIV1. Sebagian besar tes penapisan juga meliputi HIV2. Antibodi (Ab) muncul setelah seseorang terinfeksi selama 4-8 minggu. Jika seseorang mempunyai antibodi dalam darahnya maka akan bereaksi dan mengikat antigen (Ag) HIV pada permukaan.
Ikatan Ag-Ab menimbulkan reaksi warna yang dapat dievaluasi sebagai negatif, 
positif, atau tidak dapat ditetapkan. Hasil tes positif dan tidak dapat ditetapkan harus diulang dan kemudian dikonfirmasi dengan tes Western Blot.
Hasil ELISA positif palsu dapat terjadi apabila pasien menerima imunoglobulin hepatitis B dalam 6 minggu, wanita multigravida, dan adanya faktor-faktor reumatoid. Hasil ELISA negatif palsu terjadi pada stadium lanjut HIV atau awal infeksi (sebelum terbentuk antibodi).

Implikasi klinis  :
Tes positif  menunjukan orang tersebut terinfeksi atau berpotensi terinfeksi dan memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi menderita penyakit simptomatik dalam beberapa tahun. Apabila tes dilakukan segera setelah terinfeksi dapat terjadi hasil negatif palsu karena belum terbentuk antibodi. Jika dilakukan pengujian ulang setelah 6-12 minggu akan menunjukkan hasil positif. ELISA juga dapat menunjukkan hasil positif palsu, sehingga orang yang tidak terinfeksi dapat dinyatakan terinfeksi. Oleh karena itu hasil tes positif dengan ELISA atau EIA harus dikonfirmasi dengan Western Blot.

c)    Tes Western Blot
Rangkaian protein virus HIV dipisahkan berdasarkan berat molekul dengan menggunakan elektroforesis dan terikat pada strip tes.  Strip  diinkubasi dalam serum pasien.  Bila serum pasien mengandung antibodi terhadap antigen HIV, maka antibodi akan terikat dengan antigen HIV yang terdapat dalam strip dan menimbulkan reaksi yang positif.
Implikasi klinik:
Western blot positif memastikan bahwa seseorang terinfeksi HIV.
d)   Tes Antigen HIV
Seseorang yang terinfeksi mungkin tidak memiliki antibodi di dalam darahnya (misalnya di awal infeksi) tetapi orang tersebut pasti memiliki antigen HIV (protein) di darah.  Tes antigen  HIV ini tidak biasa digunakan dalam penapisan pasien HIV, tetapi digunakan untuk menapis darah yang akan didonorkan.


e)     HIV RNA DENGAN POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Deskripsi  :
Tes ini mengukur beban virus (jumlah partikel virus) di dalam darah.  Pada awalnya, RNA virus dikonversi ke DNA.  Kemudian pengukuran dilakukan dengan cara memperbanyak sekuens urutan DNA. Pada alat yang canggih, dapat juga digunakan untuk mengukur RNA HIV.
Implikasi klinik:
Bila sampel pasien diuji dengan PCR dan tidak mengandung virus maka tidak akan terbentuk kopi DNA dan tes dinyatakan negatif.  Bila seseorang dinyatakan terinfeksi, kopi DNA akan terbentuk dan dapat dideteksi.  Adanya DNA virus HIV menunjukkan seseorang terinfeksi, dan beban virus menunjukkan
perkembangan penyakit.  Kegunaan utama PCR pada HIV adalah untuk memonitor terapi pada awal penggunaan ART dalam 2-4 minggu. Jika hasilnya ≥1 log beban virus atau HIV RNA >10.000 kopi maka terapi dapat dilanjutkan. Jika hasilnya <0,5 log beban virus atau HIV RNA > 100.000 kopi, maka perlu
dilakukan penyesuaian dosis atau penambahan/penggantian ARV. Kegunaan PCR pada monitoring HIV selanjutnya dilakukan setiap 4-6 bulan. Jika beban virus 0,3-0,5 log maka terapi ARV tidak efektif dan harus diganti dengan tipe
ARV yang lain.

f)     HITUNGAN CD4+Limfosit T
Nilai normal


Umur 18+


Sel Limfosit T                       Persen (%)                Jumlah absolut/mm3

58-82                                690 - 1900
CD3
38-64                                500-1300
CD3+ CD4+
15-33                                210-590
CD3+ CD8+
4-16                                  65-300
CD3- CD19+
2-23                                  35-240
CD3- /CD16+


Deskripsi  :
Jumlah sel CD4+ merupakan hasil dari jumlah limfosit total dan persentase sel CD4.  Sebelum dikembangkan penetapan beban virus, sel CD4 dihitung untuk memonitor perjalanan penyakit dan terapi.  CD4+ limfosit penting untuk mengatasi infeksi, karena limfosit T CD 4 diperlukan untuk merespon antigen asing dan memicu pembentukan antibodi oleh sel limfosit B.

Implikasi klinik:
•       Limfosit CD4 menurun pada AIDS dan jumlah sel CD4 bermanfaat sebagai
indikator kompetensi imunologi pasien.  Bila limfosit T CD4 menurun, risiko infeksi oportunitis meningkat.  Pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200 berisiko tinggi terkena infeksi
•       Pneumosystic carinii.  Bila pasien yang memiliki jumlah CD4 kurang dari
100, berisiko tinggi terhadap infeksi Cytomegalovitus dan Mycobacterium avium intracellular complex.
•       Tes  CD4  dapat  digunakan  untuk  memantau  efektivitas  terapi  dan
pengaturan rejimen ARV. Tes tersebut dilakukan 2-4 minggu setelah terapi ARV dimulai. Terapi dikatakan efektif apabila terjadi peningkatan
CD4 30 sel/mm3. Apabila nilai CD4<30 sel/mm3 maka harus dilakukan
penggantian terapi ARV. Pemantauan efektivitas terapi pada pasien yang stabil dilakukan setiap 3-6 bulan. Jika nilai CD4 turun 50% dibandingkan
nilai CD4 pada awal terapi maka perlu dilakukan perubahan terapi ARV.

g)   Panel Hepatitis
Nilai normal :  Negatif

Deskripsi:
Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis.  Bentuknya secara klinis sama,
tetapi berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan profilaksis.  Jenis virus hepatitis: (1) hepatitis A; infeksius hepatitis, (2) hepatitis B; hepatitis serum /transfusi, (3) hepatitis D; selalu berhubungan dengan hepatitis B, (4)
Hepatitis C; dahulu non A atau non B.  Orang yang berisiko hepatitis: pasien
dialisis,  pasien  onkologi/hematologi,  pasien  hemofili,  penyalahguna  obat
suntik, homoseksual

h)   Hepatitis A
      HAV-ab/IgM; dideteksi 4 - 6 minggu setelah terinfeksi dan menunjukkan
tahap hepatitis A akut.
      HAV-ab/IgG;  dideteksi  setelah    8   -12  minggu  setelah  terinfeksi  dan
menunjukkan pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A.

i)      Hepatitis B
      HBs-Ag   merupakan antigen permukaan hepatitis B yang ditemukan pada
4-12 minggu setelah infeksi.  Hasil positif menunjukkan hepatitis B akut (infeksi akut dan kronik)
•      Hbe-Ag ditemukan setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi. Hasil yang
positif menunjukkan tahapan aktif akut (sangat infeksius)
•      Hbc-Ag (antibodi inti hepatitis B) ditemukan setelah          6 - 14 minggu
terinfeksi.  Hasil yang positif menujukkan infeksi yang sudah lampau. Merupakan penanda jangka panjang.
      HbeAb antibodi ditemukan 8-16 minggu sesudah terinfeksi, menunjukkan
perbaikan infeksi akut.
•      Hasil positif antibodi HBs-Ab terhadap antigen permukaan hepatitis B,
terjadi setelah 2-10 bulan infeksi.  Menunjukkan pasien sebelumnya telah terinfeksi /terpapar hepatitis B tetapi tidak ditemukan pada tipe hepatitis
yang lain. Merupakan indikator perbaikan klinik, juga dapat ditemui pada
individu yang telah berhasil diimunisasi dengan vaksin hepatitis B.
•      Pengukuran DNA virus dengan PCR dapat digunakan untuk memonitor
terapi HBV dengan obat anti virus.

j)      Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
Nilai normal:  Negatif
Deskripsi:
VDRL adalah uji pengendapan yang digunakan untuk mendiagnosa dan memantau tahapan penyakit Sifilis.
Implikasi klinik
      Hasil tes positif ditemukan bila infeksi terjadi setelah 4-6 minggu (1-3
minggu setelah terbentuk chancres). Hasil positif harus dikonfirmasi
dengan tes fluorescent treponemal antibody absorbed (FTA-ABS).
      Hasil false positif dapat ditemukan pada ibu hamil, pecandu obat, infeksi mononucleus, lepra, malaria dan penyakit kolagen seperti reumatoid artritis dan syndrome Lupus Erythematosus (SLE).
•      Sekitar 25% pasien mungkin tidak reaktif di awal, periode laten akhir dan periode akhir sifilis.  Tes ini memberikan hasil negatif pada lebih dari 25% pasien dengan sifilis aortitis.
      Titer  berguna  untuk  melihat  perjalanan  penyakit.  Penurunan  titer menunjukkan respon terhadap terapi.
•      Titer menurun dalam 6-12 bulan setelah terapi sifilis primer.  Titer menurun setelah 12-18 setelah terapi sifilis sekunder.  Titer dapat tetap positif selama beberapa tahun. Pasien sifilis tersier atau laten akhir memiliki titer yang dapat menurun secara perlahan selama beberapa tahun.  Peningkatan titer menunjukkan relaps atau reinfeksi. 
•      Titer lebih dari 1:16 termasuk titer yang tinggi dan biasanya menunjukkan  penyakit aktif, titer yang lebih kecil dari 1:8 mungkin merupakan hasil positif palsu atau kadang-kadang penyakit aktif.
•      Beberapa pasien yang menderita sifilis primer atau sekunder dapat saja mempunyai titer yang tinggi; serum yang tidak diencerkan tidak reaktif, tetapi serum yang diencerkan menunjukkan hasil positif.
•      Serial VDRL kuantitatif berguna untuk diagnosis dan penetapan respon sifilis congenital.
      Sampel cairan serebrospinal yang dilakukan tes VDRL biasanya digunakan untuk penetapan adanya neurosifilis.

k)   Tes Kulit Tuberculin (PPD)
Hasil Normal:  tidak adanya warna merah pada kulit atau endurasi (penebalan/ pengerasan), hal ini menunjukkan tes kulit negatif.
Abnormal: indurasi pada kulit, kemerahan, udema dan nekrosis sentral. Semakin besar diameter bengkak  maka semakin positif hasil ;
a)   hasil negatif jika diameter < 5 mm,
b)   tidak pasti atau mungkin 5-9 mm,
c)   positif    ≥ 10 mm.
Tes kulit positif menujukkan pernah terpapar basil tuberculosa (TB) atau pernah
divaksin BCG (Baccile Calmette Guerin).

Deskripsi  :
Tuberkulin  adalah  fraksi  protein     (Purified  Protein  Derivative)  dari  hasil
pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium Boris yang larut. Antigen diberikan secara intradermal (0,1 ml), menghasilkan  bleb pada tempat injeksi intradermal (biasanya aspek volar atau dorsal pada lengan). Antigen tersedia dalam 3 konsentrasi  unit: 1 TU, 5 TU, 250 TU (Tuberculin Unit).  Tes dievaluasi dalam waktu 48-72 jam.

Tujuan:
Antigen tuberkulin diberikan untuk menentukan apakah pasien mengalami tuberkulosis aktif atau dorman. Akan tetapi tes ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif atau dorman.

Implikasi klinik  :
•      PPD harus disimpan di dalam kulkas dan dispuit segera sebelum digunakan.
Konsentrasi   5-TU  lebih  sering  digunakan,  akan  tetapi  konsentrasi 1-TU kadang digunakan sebagai penapisan awal pasien yang diduga tuberkulosis untuk mengurangi keparahan reaksi, Walupun konsentrasi 250-TU jarang digunakan, dapat digunakan bila diduga tuberkulosis dan terjadi keadaan anergi.
•      Penggunaan bersamaan atau baru saja menggunakan kortikosteroid
dan obat imunosupresif lainnya dapat menyebabkan hasil negatif palsu karena terjadi penekanan sistem imun seluler (hipersensitifitas tertunda). Antihistamin dan H2 Bloker mempengaruhi respon kulit terhadap histamin yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas cepat yang dimediasi IgE dan dapat menyebabkan hasil negatif palsu.
•      Penyakit limfoid dapat menyebabkan hasil positif palsu.  Virus dan infeksi
bakteri tertentu dapat menyebabkan hasil negatif palsu karena penekanan reaksi hipersensitifitas tertunda.  Sebelum pemberian vaksin BCG dan vaksinasi yang baru dilakukan dengan vaksin virus hidup yang dilemahkan dapat menyebabkan reaksi positif palsu.

l)      Uji kultur Tuberkulosis
Deskripsi  :
Untuk menentukan kepastian seseorang menderita tuberkulosis dapat dilakukan baik dengan kultur, menggunakan metode terbaru seperti molecular line probe, maupun biakan sputum bakteri tahan asam (pewarnaan Ziehl Neelsen).
Implikasi klinik  :
•       Penentuan TB dapat dilakukan dengan tes pewarnaan kultur dan tes
kultur mikobakteri, jika dibandingkan keduanya, yang pertama simpel, cepat dan tidak mahal tetapi sensitifitasnya lebih rendah.  Sensitifitas bakteri tahan asam lebih rendah pada TB ekstrapulmonal, pasien yang menderita HIV dan pasien yang menderita mikobakteria non tuberkulosis. Bakteri tahan asam tidak dapat membedakan mikobakteria tuberkulosis dan mikobakteria non tuberkulosis.
       Kultur mikobakteri: berguna untuk mengidentifikasi kebenaran diagnosis
TB secara definitif, tetapi biayanya lebih mahal, keuntungan lainnya dapat
digunakan untuk menetapkan kepekaan bakteri terhadap obat anti TB.
       Apusan sputum; diagnosis dinyatakan negatif bila paling ketiga apusan
sputum negatif     (termasuk paling tidak satu spesimen sputum pagi).
Pasien yang dicurigai dianjurkan dilakukan pengambilan 3 kali sputum, yaitu sewaktu pagi.
•       Semua pasien harus dimonitor respon terapinya terutama pasien dengan
tuberkulosis pulmoner, melalui pemeriksaan spesimen sputum paling tidak pada dua bulan pertama, lima bulan dan pada akhir terapi. Pasien
dengan sputum positif pada bulan kelima terapi dianggap gagal terapi dan terapi harus dimodifikasi.  Respon terapi pasien dengan tuberkulosis ektrapulmoner dan pasien anak paling baik dinilai secara klinis.


7.   PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
a)   Pewarnaan Gram
Hasil:
Mikroba gram positif menghasilkan warna ungu gelap; mikroba gram negatif memberikan warna merah muda.

Deskripsi:
Pewarnaan   gram   merupakan   prosedur   sampel   dengan   larutan   gram. Pewarnaan gram ini merupakan metode penapisan yang relatif cepat untuk mengidentifikasi bakteri penginfeksi.

Tujuan:
Mengklasifikasikan bakteri menjadi batang atau kokus bakteri gram positif atau negatif

Implikasi klinik:
Kemampuan  untuk  membedakan  bakteri  gram  positif  dan  negatif  dan pengetahuan pola sensitifitas antibiotika membantu pemilihan terapi antibiotika empirik yang sesuai sampai indentifikasi mikroba selesai.

b)   Uji Sensitifitas
Deskripsi:
Uji sensitifitas mendeteksi jenis dan jumlah antibiotika atau kemoterapetik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.  Seringkali, tes kultur dan tes sensitifitas dikerjakan bersamaan.  Uji sensitifitas juga diperlukan bila akan mengubah terapi.

Implikasi klinik
      Istilah sensitif menunjukkan bahwa bakteri yang diuji memberikan respon
terhadap antimikroba.
      Intermediate adalah resisten sebagian; sensitif sedang berarti bahwa
bakteri yang diuji tidak dihambat secara keseluruhan oleh obat pada
konsentrasi terapi.
      Resisten menunjukkan mikroba tidak dihambat oleh antibiotika
      Beberapa  mikroba  bekerja  sebagai  bakterisid     (membunuh  mikroba);
sebagian lain bekerja sebagai bakteriostatika yang berarti menghambat
pertumbuhan mikroba tetapi tidak membunuh.
      Contoh antimikroba


Bersifat bakterisid                      Bersifat bakteriostatik

x   Kloramfenikol
x   Aminoglikosida
x   Sulfonamid

x   Sefalosporin’ x   Metronidazol x   Penisilin
x   Kuinolon x   Rifampisin x   Vankomisin

x   Eritromisin x   Tetrasiklin



       Munculnya  strain  penisilin  resisten  Neisseria  gonorrhoeae,  metisillin
resisten Staphilococcus aureus (MRSA), amikasin resisten Pseudomonas
sp atau vankomisin resisten Enterococcus sp (VRE).
       Pasien yang hasil penapisan menunjukkan positif MRSA atau VRE
sebaiknya diisolasi.

c)   Malaria
Deskripsi:
Malaria merupakan penyebab anemia hemolitik yang berhubungan dengan infeksi sel darah merah oleh protozoa spesies Plasmodium yang ditularkan ke manusia melalui air liur nyamuk.  Ada 4 jenis Plasmodium penyebab malaria,
yaitu: P. vivax, P. falciparum, P. ovale, P. tertiana. Malaria bersifat endemik di 
daerah tropis dan sub tropis (papua, NTB).  Penyakit ini bersifat akut yang dapat menjadi kronis disertai serangan berulang yang menyebabkan kelemahan (malaise).
Mikroorganisme Plasmodium pertama kali menginfeksi sel hati, dan kemudian
berpindah ke eritrosit.  Infeksi menyebabkan hemolisis masif sel darah merah. 
Pada titik ini, semakin banyak parasit yang dilepaskan ke dalam sirkulasi dan
terjadi siklus infeksi berikutnya.  Siklus infeksi biasanya berlangsung setiap
72 jam.  Respon hospes terhadap infeksi antara lain pengaktifan sistem imun, termasuk produksi berbagai sitokinin yang didesain untuk meningkatkan respon imun.  Sitokinin ini, termasuk faktor nekrosis tumor dan interleukin 1 dan 6, merupakan faktor kunci melawan parasit, tetapi bertanggung jawab juga untuk kebanyakan manifestasi klinis penyakit, terutama demam dan mialgia
(nyeri otot).     Individu biasanya pulih tetapi dapat mengalami kekambuhan.

Implikasi klinik  :
Analisis darah akan memperlihatkan anemia dan adanya parasit (Plasmodium). Bentuk sel masing-masing parasit berbeda sehingga pemeriksaan hapusan
darah dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis Plasmodium penyebab infeksi.

d)    Ig G dan Ig M
IgG meliputi 75% - 80% total imunoglobulin.  Peningkatan IgG terjadi pada
kondisi:
1.      Infeksi granulomatosus kronik
2.      Hiperimunisasi
3.      Penyakit hati
4.      Malnutrisi (parah)
5.      Disproteinemia
6.     Penyakit yang berhubungan dengan hipersentitifitas granuloma, gangguan dermatologi, dan mieloma IgG
7.      Reumatiod artritis

IgG menurun pada kondisi:
-      Agamaglobulinemia
-      Limfoid aplasia
-      Defisiensi IgG, IgA
-      Mieloma IgA
-      Proteinemia Bence-Jones
-      Leukemia limfoblastik kronik

IgM meliputi 5% - 10% dari total antibodi.  Peningkatan nilai IgM pada dewasa
terjadi pada kondisi:
      makroglobulinemia Waldenstrom
      tripanosomiasis
      malaria
      infeksius mononukleosis
      lupus erimatosus
      reumatoid artritis
      disgamaglobulinemia (kasus tertentu)
      pada bayi baru lahir, kadar IgM > 20 mg/dL mengindikasikan utero
stimulasi  sistem  imun    (misalnya  virus  rubela,  sitomegalovirus,  sifilis
toksoplasmosis).

Ig M menurun pada kondisi:
      Agammaglobulinemia
      Gangguan Limfoproliferatif
      Mieloma IgA dan IgM
      Disgammaglobulinemia
      Leukemia limfoblastik kronik

e)    Tes Widal (Felix Widal)
Diagnosis demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang, daerah terinfeksi lainnya, atau lesi. Deteksi antibodi dari kultur darah masih menjadi pilihan utama dari diagnosis.

Deskripsi
Tes ini mengukur tingkat antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H. Tingkat antibodi diukur menggunakan pengenceran  serum ganda.  Biasanya antibodi O akan muncul pada hari ke 6-10 dan antibodi H pada hari ke 10-12 setelah
onset penyakit. Tes ini dilakukan pada serum akut (kontak pertama dengan
pasien).
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini tidak tinggi (sedang). Tes ini memberikan
hasil negatif pada 30% kasus yang mungkin disebabkan oleh penggunaan antibiotik sebelumnya. Hasil positif palsu dapat terjadi akibat reaksi silang epitop dengan enterobakteriase. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada penyakit seperti malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh mikroba lain dan sirosis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tingkat antibodi pada populasi normal untuk menentukan ambang titer antibodi yang dianggap bermakna. Demam tifoid terdiagnosa bila hasil titer antibodi antara serum kovalesen empat kali lipat dibandingkan serum akut, misalnya: titer antibodi 1/80 pada fase akut menjadi 1/320 pada fase kovalesen (recovery).
Walaupun ada keterbatasan tes ini berguna, karena murah dibandingkan dengan tes diagnosis baru. Tes ini tidak perlu dilakukan bila telah dilakukan pemeriksaan kultur bakteri S. typhi.

Tes diagnostik terbaru
Tes diagnostik terbaru adalah IDL Tubex dari Swedia, Typidot dari Malaysia, dan dipstik tes yang dikembangkan di Belanda.
Prinsip :  IDL tubex mendeteksi IgM O9 dan hasil didapat setelah beberapa menit.  Tes  Tubex  berdasarkan  studi  awal  menunjukkan  sensitifitas  dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan tes Widal.
Typidot mendeteksi antibodi Ig M dan Ig G terhadap antigen S. typhi 50 kD
dan hasilnya didapatkan sekitar 3 jam. Sedangkan Typidot M mendeteksi 
IgM saja.  Typidot merupakan gold standar yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100%.  Studi evaluasi menunjukkan Typidot M lebih baik dibandingkan metode kultur.
Dipstik tes mendeteksi ikatan antara IgM S. typhi terhadap lipopolisakarida (LPS) S. typhi.  Dipstik tes adalah tes alternatif yang cepat dan mudah untuk mendiagnosis demam tifoid terutama di daerah yang tidak mempunyai fasilitas untuk kultur. Hasil tes dapat diperoleh dalam 1 hari.






DAFTAR PUSTAKA

Stein SM. BOH’S Pharmacy practice manual: a guide to the clinical experience. 3rd ed.
        
2010. Lippincott Williams & Wilkins.
Hughes J. Use of laboratory test data: process guide and reference for pharmacists.
        2004. 
Pharmaceutical Society of Australia.
Kailis SG, Jellet LB, Chisnal W, Hancox DA. A rational approach to the interpretation of
        
blood and urine pathology tests. Aust J Pharm 1980 (April): 221-30
KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
        
and Stratification. 2000. National Kidney Foundation.

Sumber: Buku Pedoman Interpretasi Data Klinik.2011.